Tuesday 27 May 2014

THE STORY OF LOVE CHAPTER 5

The Beginning of My Story

Aku akan berusia 26 tahun pada awal tahun depan nanti. Kata Mama, arti namaku adalah bunga. Tapi aku sama sekali tidak merasa konek dengan keberadaan bunga yang serba indah dan manis namun cepat layu. Aku mengibaratkan diriku bagai buah belimbing. Bila diiris tipis, bentuknya seperti bintang di kanvas kelam malam hari. Bintang yang berkilau dan gemerlapan bagai berlian dari kejauhan. Ingat kan lagu twinkle-twinkle little star? Ada baris yang berbunyi, like a diamond in the sky. Itu ilusi, tentu saja. Kalau dipikir-pikir, sama seperti cinta. Kerlap-kerlip bintang membius mata, memukau setiap insan. Namun, apa yang terjadi bila kau terbang ke luar angkasa dan mendekati bintang? Bukankah bintang itu hanya pecahan meteor yang jelek? Semua yang indah itu hanya ilusi yang membutakan. Twinkle-twinkle little love. Misterius namun begitu kau mengalaminya, kau akan terpuruk dalam kekecewaan yang begitu menyakitkan…
Kembali ke filosofi belimbing. Bagaimana dengan rasanya? Ada yang manis, memang. Tapi kebanyakan kecut dan bertambah membuat miris bila dikunyah dengan garam. Walaupun begitu bisa bikin orang merem-melek. Keenakan. Itulah aku. Persis.
Sudah hampir satu tahun aku meninggalkan rumah. Meninggalkan aturan normatif. Mungkin orangtuaku akan menyesali kepergianku, tapi mungkin juga malah mensyukuri. Jujur saja, aku merasa ada sekrup yang hilang dari otakku. Entah lupa diciptakan oleh Sang Maha Pencipta atau mungkin memang ada namun sudah soak.
Itulah aku, aku seperti kutu yang menggigit bokong mereka - gatal luar biasa tapi terlalu malu untuk menggaruk di depan umum. Kini mereka sudah terbebas dari aku, harusnya mereka bahagia. Kuharap saja.
Sekarang aku bekerja menjadi penjaga butik. Butik kecil bernama Star. Pemiliknya adalah temanku satu-satunya, saudara kembar yang terpisahkan oleh nasib. Namanya Naia.
Kami sedang mempertimbangkan kehidupan ini. Ada apa dengan kehidupan ini? Mau apa? Aku telah meninggalkan kehidupan beradab untuk jadi pengemis berkedok penjaga butik. Naia sedang berkecimpung dalam dunia mayanya. Hidup dalam imaji, memimpikan bersuamikan orang lain. Ia terbius dalam misteri perselingkuhan. Kami berdua sama-sama brengsek. Clueless. Hidup ini bagaikan seonggok dirt.

“Inget, Fleur. Pagi-pagi semua lampu sebaiknya menyala. Itu akan membangkitkan chi positif, energi positif.” Naia memulai ‘sarapan paginya’.
“Begitu juga dengan rekening listrik positif,” sahutku memulai sarkasmeku dengan tawa sumbang.
Naia mengerling dengan dahi berkerut.
“Bagaimana semalam?” lanjutku ringan.
“David pulang jam dua subuh. Bagus, gue bisa ngobrol sama Jon. Aneh, saban kali gue telpon-telponan sama dia- rasanya so real. Seakan-akan gue sedang bersentuhan dan berpelukan sama dia. Gue nggak ngerti, kayaknya jarak pemisah di antara kita nggak ada lagi. Semuanya enggak realistis, yang ada di depan mata gue hanya dia. Dan dia juga kiss gue. A Soul Kiss, Fleur… Isn’t it amazing?”
“Mungkin kalian emang berjodoh,” jawabku asal-asalan.
Naia menanggapiku serius. “Gue emang selalu berpikiran begitu, Fleur. Gue pikir- kita hanya butuh waktu. Cepat atau lambat, gue percaya, kami pasti bersatu.”
Aku menahan diri untuk menguap. Aku selalu tidak tahan dengan kisah romantis sepasang kekasih sejiwa. Laki-laki tidak bisa hidup tanpa seks. Wanita tidak bisa hidup tanpa romantisme. Jadi laki-laki menjual secuil romantisme mereka demi seks yang dasyat. Hukum dagang dalam percintaan. Sejak kapan cinta jadi komersil? Ah, aku kan sudah mengalaminya sendiri. Aku berani bertaruh, “dia” menjual Cintanya demi obsesinya. Aku tidak tahu lagi apa artinya romantisme. Aku hanya tahu seks yang membuatku kesemutan. Aku tidak perlu pria untuk mendapatkan kepuasan.
Aku menangkap bayanganku dalam cermin di tengah-tengah butik. Banyak orang mengatakan aku memiliki kecantikan unik. Mataku mempunyai daya tarik seperti penghipnotis yang bisa memperdaya hati pria. Tidak benar, itu jelas, karena hati “dia” tetap tak terjamah. Atau mungkin, hipnotisku kalah dari hipnotis si pewaris kerajaan sepatu. Tapi sempat terpikir olehku semuanya dikendalikan oleh otak, sebab yang sebenarnya- mataku agak juling. Tidak ada yang sadar, sebab mereka dikelabui illusi yang kuciptakan. Hidungku agak bengkok - akibat jatuh dari sepeda sewaktu balita. Bengkok seperti nenek sihir. Lucunya, mereka mengatakan aku eksotik. Aku tidak mengerti. Bibirku penuh seperti disuntik kolagen. Pria-pria yang sudah menciumku mengatakan bibirku seperti agar-agar, licin dan empuk. Menyalurkan sensasi aneh, bikin orang menagih. Rambutku nyaris tak pernah kuurus. Acak-acakan bergelombang warisan dari gen nenek moyang yang melambai sampai ke tengah punggung. Sintingnya, semua pria memujanya. Aku tidak perduli, yang penting aku tidak perlu repot-repot bersisir pada saat bangun pagi. Anggaplah ini hadiah dari Tuhan.  Bed head itu seksi, kan? Badanku memang setipis papan cucian. Tapi aku tidak pernah mau ribet walaupun Naia berkali-kali menyentil tentang wonder bra dan suntik silikon. Kenapa harus memuaskan nafsu pria secara gratisan? Dan aku memang tidak perlu semua itu. Aku adalah Goddess. Kesombonganku menciptakan aura misterius. Aku memang terlalu angkuh.

            “Apa lo mau menyerah, Fleur?”
“Menyerah?”
“Menyerah dari cengkraman “dia”! Hidup lo mau dibawa ke mana sih, Say? You’re not getting any younger, you know. Lo kan bilang enggak mau jadi penjaga butik gue seumur hidup elo. Elo juga ngomong enggak mau jadi tai-tai yang hidup enak tapi kosong. Kayak gue. David emang banyak duit. Gue enggak usah susah-susah. Mau pelesir ke luar negeri enggak masalah kok. Mau ke mana? HongKong, Singapur, Jepang? Itali, Perancis??? Tapi gue enggak butuh semua itu, Fleur. Lo tau kan apa yang gue pengen? Hidup sama Jon. Itu aja. Kenapa susah amat sih?”
“Kalau gitu elo cerai aja sama David,” jawabku sekenanya.
Are you joking, Hon? Bokap gue bisa stroke dan gue bisa jadi anak durhaka yang dikutuk seumur hidup gue. Lagian enggak bakalan bisa semudah itu. David sudah pernah wanti-wanti dia mau clean record, clean reputation. Dan itu termasuk keutuhan rumah tangganya. Semua orang tahu dia hobi main cewek, tapi nggak ngaruh kok. Who cares? Yang penting dia punya istri setia yang berfungsi jadi trophy saat acara-acara formal dan juga sebagai mesin pembuat anak. Gue bisa dibunuhnya sebelum sempat telpon pengacara buat minta cerai, Fleur.” Mata Naia nanar seperti sedang menceritakan pengalaman sakit Aids. Menjerat kehidupan sampai ajal menjemput. Keropos sampai tidak ada daging tersisa. Yang bisa dilakukan hanya menunggu.
“Lo tau nggak, Say. Infidelity itu layaknya minum tequila di Meksiko. Alias, benar-benar normal. Nggak ada kata cerai dalam kamus mereka. Tapi pil atau wil? No problemos. I wish I could adopt that attitude. Tapi gue nggak bisa. Gue kepengen hidup normal dan indah. Bersama Jon. Hanya bersama dia. Mimpi sederhana tapi mustahil.”
Naia berhenti sambil mendesah lalu tiba-tiba dengan datar melanjutkan, “Tiba-tiba aja gue inget. Lo tau nggak, Say, di India, orang tua pengantin harus ngasih mas kawin buat pengantin cowok. Makin tinggi derajat si cowok, makin gede juga duit yang harus disiapkan. Udah gitu, ternyata banyak kasus, sang suami kemudian dengan sengaja membakar istrinya hidup-hidup dengan kesan seolah-olah itu cuma accident belaka supaya bisa kawin lagi dan dapet mas kawin lagi. Can you imagine?
Aku terbelalak. “Masa sih? Emang lo tau dari mana?”
Naia melirikku malas. “Masa gitu aja lo masih nanya? Oprah is my only lao shi[1].
“Terus gimana dengan ortu si cewek? Enggak ngamuk emangnya?”
Naia mengangkat bahu. “Ironis dan menyedihkan. Mereka memilih bungkam karena menganggap yang terjadi pada anak mereka adalah aib yang harus dikerangkeng rapat-rapat.”
Kami terdiam untuk beberapa saat sebelum wind chime yang tergantung di depan pintu masuk bergemericing. Ada tamu. Aku berharap-harap jenuh. Pasti sekumpulan cewek muda ganjen pemamer perut dan bahu telanjang. Ribut seperti sekawanan bebek bersuara sengau.
“Mih, Aira pengen yang warnanya merah.”
“Boleh. Kamu pilih aja yang kamu suka, Sayang.”
Aku memperhatikan dengan seksama. Ada wanita mungil berparas lembut mewah. Ada  remaja putri gendut manja. Ada pria tinggi berkacamata yang menyambutku dengan senyum sehangat mentari pagi.
I love you for a sentimental reason. Lagu yang romantis. Aku memejamkan mata sekejap, menghirup udara AC, membayangkan suasana coffe shop di tahun 1940-an. Naia sibuk memamerkan koleksi terbaru dengan sebaris gigi putih bersinar seperti fosfor. Aku mengamati dengan mata separuh tertutup. Aku memang sangat mengantuk. Tidur 12 jam sehari bisa membuatmu letih, seperti efek samping dari penggunaan obat tidur berlebihan.
“Mau cari yang kayak gimana?” Naia memulai perannya sebagai pemilik butik yang luwes.
Wanita lembut itu memandang remaja gendut yang kelihatan bingung.
“Bingung ya? Memangnya untuk acara apa?” tanya Naia lagi.
“Pesta ulang tahun yang ke sebelas,” jawab wanita lembut.
“Hm…hm…mungkin saya tahu.” Naia bergegas mencari-cari sesuatu di antara pakaian yang bersesakan.
“Aira kepengen yang merah,” cetus remaja gendut bersuara lantang.
Naia mengangguk-angguk seakan mengerti. Merah adakah warna kegemarannya juga, warna pembawa hoki. Aku memandang dengan mata menyipit, wanita lembut itu tampak masih segar. Belum ada tapak keriput di wajahnya yang halus. Hanya ada laughing line yang bersahabat. Tanpa kuduga ia menangkap tatapanku dan tersenyum gemulai. Dengan senyum menempel, ia menghampiriku.
“Maaf, saat melihat kamu saya jadi teringat pada adik saya. Saya berniat membelikan gaun untuk ulang tahunnya yang ke 26. Tipe badan kalian kurang lebih sama, bisakah kamu membantu saya?”
“Tentu saja.”
Ia melenggang, menunjuk gaun panjang merah darah gemerlap yang terpajang di tubuh tanpa cacat sang manekin dengan jari-jarinya yang berkuku ungu muda. Tanpa bicara aku melepas baju itu dan membiarkan tubuh pucat manekin telanjang memalukan, payudaranya mencuat sempurna.Aku berjalan menuju kamar pas, melucuti semua pakaianku kecuali celana dalam dan memasukkan gaun itu tanpa kesulitan. Bentuknya pas meliliti tubuh kerempengku.Tanpa menghiraukan bajuku yang berserakan di lantai aku pun keluar untuk memamerkan diri.
Penampilanku disambut oleh tatapan kagum si wanita lembut. Namun masih ada sepasang mata yang mengintai, menyimpan nafsu terpendam. Aku bisa merasakannya. Dia adalah si pria berkacamata.
“Bagus banget. Pih, gimana pendapat Papih? Cocok kan buat Ame?” tanyanya menoleh pada pria berkacamata.
Dia mengangguk-angguk dengan senyum palsu. “Selera Mamih kan oke,” ucapnya mengedipkan mata.
Si wanita lembut tersenyum senang lalu menoleh padaku. “Terimakasih, kamu baik sekali. Oya, kenalkan - saya Erin dan ini suami saya Feo.”
“Fleur.”
Naia menyelinap ke antara kami, tidak mau kalah. “Astaga, Fleur, kamu cantik sekali,” sahutnya sambil mengedipkan matanya. Ia meledekku.
“Saya Naia,” katanya menyambung.
“Baju-baju kalian indah sekali. Saya rasa saya akan ambil baju ini. Sekali lagi thanks ya Fleur.”
Aku tersenyum dan mencuri pandang dari sela-sela bulu mataku yang panjang. Feo bukanlah pria mata keranjang seperti yang biasa kutemui. Erin adalah tipe wanita setia yang lembut. Sepertinya tidak ada yang kurang dari keluarga kecil mereka.Kami mulai berbasa-basi yang basi. Menghabiskan setidaknya lima belas menit untuk melacak kata-kata di tengah kekosongan yang mengagokkan dan lima belas menit lagi untuk meributkan gaun ulang tahun untuk remaja gendut bernama Aira.

Jam berlalu bagaikan merangkak. Sabtu biasanya hari panenan untuk butik kami tapi entah mengapa Sabtu ini berlangsung malas. Seperti anak muda yang leyeh-leyeh  di depan TV sembari bercumbu dengan semangkuk penuh keripik kentang dan sebotol soda yang bikin perut kembung.
“Besok pagi kita ke Malya yuk.” Suara Naia memecah kekosongan seperti denting botol yang bersentuhan dengan tiang rak baju.
“Oke,” jawabku singkat.
Aku sedang membaca sebuah buku membosankan, buku sejarah. Mataku menemukan sesuatu yang menarik.

Windsor Castle, 11 Pebruari 1840

Pamanku yang tercinta,
Surat ini saya layangkan dari tempat ini; saya merasa amat bahagia, seorang mahkluk yang amat berbahagia selama dunia terbentang. Sungguh tidak mungkin bagi siapapun juga untuk merasa lebih berbahagia atau sama bahagianya seperti yang saya rasakan ini. Albert adalah pujaanku, dan keramah-tamahan dan kasih sayangnya terhadapku, benar-benar menawan hati. Melihat matanya yang manis dan wajahnya yang gembira, telah cukup untuk membuat saya jatuh cinta padanya. Segala sesuatu yang dapat saya lakukan untuk membuat ia berbahagia, merupakan kenikmatan yang tak terhingga bagiku…
Kirim salam pada bibi Louise yang kucintai
Kemenakan yang tetap mencintaimu
Victoria[2]
Hmmm, bahkan orang dari zaman kuno pun bisa dengan mudahnya mencintai dan berbahagia, pikirku sinis.
Aku menopangkan tangan ke daguku dengan tatapan menerawang ke luar jendela. Di luar hujan mulai turun dan warna langit mulai memuram, seperti wajah gadis remaja yang sedang diputus cinta.
Aku merasa melankolis. Sebenarnya belum ada setitik ide pun yang mampir di kepalaku. Ide dari tujuan hidupku yang pendek ini. Apa hanya sekedar obsesi untuk melepaskan diri dari ilusi “dia” atau justru kekalahan yang tidak memuaskan ini yang membuatku gemas untuk pembuktian diri yang tak ada habisnya? Aku seperti kecoa yang terjebak di rumah seorang nenek tua rabun. Hidup bebas tanpa ancaman namun bosan setengah mati. Apa yang harus kuperbuat?

Aku selalu menyukai udara malam. Setiap hari, tepat pukul 9 malam, kami menutup butik dan Naia mengantarku pulang ke tempat kos dengan honda jazz ungu-nya.
Kadang-kadang Naia membawa mobilnya putar-putar tanpa tujuan, hanya demi secuil suasana malam yang romantis. Kontrasnya lampu kerlap-kerlip di tengah navy-nya malam. Aku selalu membuka jendela mobil dan meneguk dinginnya hawa malam yang semerbak. Kami selalu menikmati masa-masa ini. Terhenyak tanpa suara. Kadang-kadang aku yang berada di balik kemudi sementara ia duduk di sampingku memejamkan mata dalam mimpi bermesraan dengan kekasih gelapnya.
Aku mengendarai mobilnya dengan kecepatan minimum dan dengan sukses berhasil membuat mobil di belakangku menyusul dengan hati mangkel lalu berteriak “cewek sialan,” dari jendelanya yang terbuka separuh. Kami tidak menghiraukannya dan tetap berjalan seperti jompo yang sedang sakit rematik.
“Nai,” bisikku lirih, nyaris tertelan nyanyian angin malam.
Naia menggumam tidak jelas.
“Lo takut tua nggak sih?”
Naia diam dan memandang lurus ke depan, ke kepekatan yang menyambut ramah. “Gue takut tua dan kering seperti keripik tempe, digoreng sampai hangus tanpa cinta, Say. Kalo lo?”
Aku sudah memikirkan jawabannya, “Gue rasa gue nggak bakalan hidup sampai tua kali, Nai.”
“Kenapa?”
“Tuhan pasti udah terlanjur gerah ngeliat kelakuan gue yang brengsek.”
“Lo kan belum separah itu.”
Aku mengangkat bahu. “Gue kan hidup melanggar norma, Nai.”
“Jangan gitu dong, Say. Kalau lo ngomong begitu - lantas gue apa? Wanita hina yang pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan kotor kekasih gelapnya dan mengkhianati suami yang dinikahinya secara sukarela…bahkan sejak hari pernikahannya sendiri. Apaan itu?”
 “Apa bedanya, Nai? Gue juga pendosa.Gue tahu, di luar sana - banyak orang menganggap seks di luar nikah adalah hal wajar, semata-mata sebagai pemenuhan kebutuhan biologis. Enggak ada yang aneh. Tapi yang dicangkokkin ke dalam otak kita apaan? Seks di luar nikah itu dosa. Tapi yang bikin gue lebih merasa berdosa bukannya seks itu sendiri. Tapi karena gue merasa seks yang udah gue lakuin itu wajar. Bahkan, kalau bisa - gue kepengen jadi bintang film porno, Nai. Hidup di atas seutas tali tipis. Nggak mikirin apa-apa. Nggak mikirin Tuhan. Memuaskan nafsu jasmani seperti insting binatang liar. Sekarang coba bilang kalau gue enggak gila.”
“Gue enggak tahu definisi gila.”
Aku tertawa dan kedengarannya aneh, seperti orang lain yang sedang memaksakan diri untuk tertawa.
Aku dan Naia berpandangan seakan bisa membaca isi otak masing-masing seolah-olah batok kepala kami hanya dilapisi kaca tembus pandang.
“Di atas Tuhan ada apa, Nai?” tanyaku membuat kaget diriku sendiri.
Naia tercengang seperti sedang melihat setan cewek berambut panjang menyeramkan sedang ngintip dari belakang bahuku.
“Tuhan itu yang maha ada.”
“Setiap asal ada muasalnya kan?”
“Tuhan yang maha muasal.”
Aku menyandarkan kepalaku yang pening. Aku penasaran sekali, ingin bertemu Tuhan dan menanyakan banyak hal yang berseliweran di otakku seperti nyamuk yang tidak kenal lelah. Mungkin aku harus bermimpi. Dan Tuhan menjawab…



[1] Guru
[2] Surat yang ditulis oleh Ratu Inggris Victoria (1837) kepada pamannya Leopold

Sunday 25 May 2014

THE STORY OF LOVE PART 3-4

The Virgin Me

“Fucking idiot. Kalian bisa kerja nggak sih? Cuci piring aja nggak becus. Dengar, upah kalian akan dipotong untuk mengganti pecah belah ini. Get it???” Si bule tolol menyalak seperti anjing doberman tengah memergoki maling yang menerobos masuk tanpa diundang.
Aku menunduk, kelingkingku bertemu dengan kelingkingnya. Tak lama kemudian bule itu pergi sembari mendumel-dumel. Aku mengangkat wajah, menoleh padanya. Ia tertawa, mata sipitnya bagaikan bulan sabit.
“Mari kita beresin,” ajaknya.  
Kami membenahi bangkai piring yang berhamburan di lantai. Berhati-hati dengan sabitan tajamnya. Menyipitkan mata mencari serpihan mikro yang menyaru menjadi lantai berwarna sama.
Jariku terkena ujung runcingnya. Mengeluarkan tetes merah. Cairan kehidupan. Malamnya kami bercinta. Dan aku kehilangan keperawananku.
Aku berbohong pada kukuhku.
“Fleur nginep di rumah Hana ya, Kuh.”
“Baik. Tapi kamu kan nggak bawa baju ganti, Fleur.”
“Pinjem yang punyanya Hana kan bisa, Kuh. Hana sedang patah hati, baru diputusin pacarnya.”
“Oh.”
Bye, Kuh.”
Bye. Take care, dear.
Hana, teman instanku yang imigran China mainland berubah menjadi sosok pria bernama Tae Jhi Woon. Pria berdarah Korea yang belum pernah menginjak tanah Korea seumur hidupnya. Seumur 25 tahun. Ia mengajakku bercinta.
Dia pun melucuti bajuku. Aku memejamkan mata. Di pelupuk mataku, menari wajah dan mata yang sangat kutunggu. Menantikan saat ini seperti yang kuimpikan. Menyiapkan diriku demi sepotong pengalaman magis. Wajah itu kepunyaan “dia”.Tangan Jhi Woon menelusuri tubuhku seperti mobil malas-malasan menyusuri jalan. Meraba setiap mili kulit. Saat akhirnya dia menguasai diriku - aku merasa kesemutan. Tangan dan kakiku dingin.
But that’s all. Aku tidak merasakan apa-apa lagi selain itu. Semuanya hambar seperti makan tiramisu tanpa susu.

Aku lulus kuliah S1 pada usia 23 ½ tahun. Dan bekerja sebagai finance staff di sebuah perusahaan sepatu selama setahun. Setelah itu memutuskan untuk berlibur selama ½ tahun bersama kukuh-ku yang perawan tua di Monterey, CA. Lalu secara spontan bekerja paruh-waktu illegal di warung fast-food kumuh. Di sana aku mengenal Tae Jhi Woon dan kehilangan kesucianku dalam hitungan menit. Kami seperti kerasukan setan. Hidup di dunia berbeda definisi. Seolah aku adalah dewi seks yang eksis hanya untuk satu tujuan. Bercinta puluhan kali tanpa mengenal waktu maupun rasa bersalah. Hanya saja dengan pria yang sama. Setidaknya sampai detik ini.

Aku menonton Sweet November yang dibintangi Keanu Reeves dan Charlize Theron belasan kali. Bukanlah sekedar kebetulan dua bintang Hollywood favoritku bermain bersama. Itu adalah takdir. Aku mengingat setiap detailnya. Akhir yang tidak memuaskan, seperti makan kue ulang tahun. Hanya separuh, tidak tuntas karena giung[1].
Aku ingin hidup seperti Sara. Bebas dan cuek (sans kanker, tentunya). Itu alasanku menginginkan dia bertahan dengan kanker yang menjajah tiap provinsi dalam tubuhnya.
Aku tidak suka cowok miskin. Itu alasan kenapa aku ingin Nelson tetap kaya walau kehilangan karirnya dan bukan pewaris jutawan. Baru saat itu aku terbangun dan menyadari betapa tidak nyatanya kehidupan di balik kaca berwarna. Uang selalu melekat dalam kenikmatan setiap jiwa, terkekang maupun yang bebas merdeka.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Sara akan mati, dikubur dalam keadaan kurus kering sisa hidangan lezat sel-sel ganas. Bagaimana dengan Nelson?

Aku berpisah dengan Jhi Woon saat merasakan muak. Muak seperti budak seks yang dikurung dan dipakai pada saat nafsu memuncak. Kami sudah mencoba semua posisi. Jhi Woon menunjukkan perangainya yang asli. Kasar dan lapar seks. Ia tidak segan-segan memukul dan mencekikku untuk mencapai klimaks. Dan seperti pesakitan - aku menikmati momen-momen itu.
Tubuhku memanggilnya dan melekat seperti magnet pajangan di pintu lemari es. Gatal-gatal ingin di sentuh. Aku memang wanita jalang. Dan itu membuatku menggigil karena perasaan tak puas yang menderaku. Sampai saat aku memutuskan untuk pulang ke Indonesia - aku bertekad tidak akan bercinta lagi.

Aku punya kekurangan. Aku tidak pernah jatuh Cinta. Cinta tidak pernah terdaftar dalam kamusku. Sekedar fling atau teman flirting tentu saja bejibun. Tapi bukan berlabel Cinta. Sampai pada suatu momen, detik membeku. Mata “dia” singgah ke ruang berdebu di hatiku. Dan sejak saat itu love was my middle name.
Namun setelah beberapa saat terpuruk dalam ketololan parah semenjak “dia” menolakku hanya setelah tiga bulan kencan virtual kami, aku memutuskan untuk hidup dalam penyangkalan diri sendiri. Sebenarnya, dari dulu aku adalah gadis yang punya persediaan rasa pe-de yang lumayan banyak. Mungkin karena cermin tak pernah berbohong. Aku adalah si cantik yang bandel. Tapi, kali ini beda. Egoku terpuruk. Hatiku terluka dan menolak untuk percaya bahwa wajah yang sedemikian cantik tidak mampu memenangkan Cinta. Cinta pertama yang datang terlambat.
Maka, aku membuat keputusan untuk hidup dalam dunia imaji. Memainkan peran as a Goddess.  Sejak itu, yang kulihat dalam cermin bukan sekedar mahkluk cantik namun sesosok sensasional. Aku juga korban mode. Kain yang membalut tubuh harusnya tidak masalah mengingat tubuh dan wajahku yang menakjubkan. Karena itu pula aku bukan pengandrung merk fanatik. Aku pernah belanja di CiMol[2]. Belanja pakaian yang tidak lagi virgin dan yang kupilih dengan cermat meningkatkan adrenalin dan memberiku euforia. Standar penampilanku adalah rok jins hipster menggantung sempurna di pinggulku yang tajam. Kemeja ketat putih menerawang dengan bra hitam. Jaket kulit hitam imitasi dengan kerah dan ujung tangan dari faux fur - keglamoran yang palsu. Bot hitam selutut murahan. Aku akan melenggang bak supermodel di cat walk dengan kacamata hitam menyembunyikan the real inside me. Aku akan menikmati tatapan X-ray para cowok mesum menjelajahi tubuhku, menembus pakaian. Dadaku membusung dan perutku rata. Tungkaiku panjang.  I have to prove that I am really a Goddess and even he has to admit it!  Dan semenjak saat pemungkiran diri itu pulalah, dunia seolah mengekoriku. Seolah aku matahari dan para cowok adalah planet-planet yang mengitariku. Aku adalah The It Girl.   Kecuali…baginya.
Aku ditawari menjadi model beberapa kali. Aku sebenarnya tidak ingin menolak namun mereka menawariku foto kalender telanjang. Aku lebih baik jadi bintang film porno profesional. Aku memang hidup di dunia lumpur.

The Story of Naia

Namanya seunik pribadinya. Ia adalah cewek modern fans fanatik fengshui & Oprah Winfrey show. 
Setelah melepas posisi finance staff di sebuah pabrik sepatu, cikal-bakal pertemuanku dengan “dia”,  dan mengantungi buku tabungan dengan sederet angka tidak memuaskan, aku pun memutuskan untuk bekerja di butik milik Naia. Tentu saja, usai ½ tahun berenang dalam kehidupan bejat.
Ia menaruh pajangan kodok berkaki tiga di bawah meja kasir. Akan merayu uang datang. Itu kata fengshui. Nyonya muda kaya kurang kerjaan. Dibekali butik supaya tidak merecoki tuan yang sibuk berbinis sampai dini hari. Dengan kemeja beraroma alkohol dan wanita. Ada bekas lipstik di ujung kerahnya. Tubuhnya panas dan loyo. Itu karena sudah puas berpesta dengan dua-tiga cewek yang mengerumuninya seperti semut merah menyantap permen yang ditinggalkan di meja - dengan bungkus terbuka.
Kami adalah teman sejiwa. She is my other half.  Sahabat dari SMA. Ia membiarkan aku bekerja di butiknya karena aku ingin siesta tanpa harus luntang lantung tanpa juntrungan. Ia akan mencurahkan seluruh isi hatinya padaku.
Dandanannya menor. Eyeliner ketebalan, perona pipi kemerahan dan lipstik pink manyala. Ia seperti manekin di etalase toko. Selalu gaya dan chic.
“Lo harus betulin gigi lo, Fleur.”
“Kenapa?”
“Gigi lo kan jarang-jarang. Lo nggak bakalan bisa kaya. Percaya deh, rejeki bakalan gampang mengalir keluar.”
Aku tertawa tapi wajahnya tetap serius.
“Serius, Say. Elo enggak boleh ngeremehin hal-hal semacam ini. Sepele kelihatannya tapi akan membawa perubahan besar. Trust me.

Naia pacaran dengan David enam tahun lamanya dan langsung menikah setelah lulus kuliah. Sejak hari pernikahannya, Naia terbangun dalam kenyataan bahwa dia sudah tidak mencintai mempelai prianya.  But it’s way too late. Ia memaksa senyum palsu di balik riasan sepucat boneka lilin dan memberikan the wedding kiss dengan bibir terkunci rapat.
Pada malam pertama ia terbaring kaku seperti mayat, seperti ikan beku. Dingin bagai boneka rusak belaka. Kenyataannya ia jatuh cinta pada sahabat suaminya. Pria sederhana yang membantu mengangkat slayer-nya. Handycam menangkap kesedihan di sinar matanya yang redup. Hanya orang berdarah dingin yang tidak bisa menyadarinya. Sayangnya semua orang berdarah dingin, haus perhatian dan cinta diri sendiri.
Naia dengan terisak-isak menceritakan kefrustasiannya.“Setiap malam gue seperti diperkosa, Fleur. David hanya tahan dua menit saja. Bayangin, dua menit. Apa itu orgasme? Gue enggak kenal. Siapa dia? Orang mana? Bisa lo kenalin gue, Fleur?” tanyanya pilu.
“Jon mengirimiku SMS, begini bunyinya. Kala senja merangkak memasuki kejamnya malam. Kala malam makin membutakan pandanganku. Di hadapanku hanya ada kamu. Putih bercahaya bagaikan bulan di hatiku yang temaram. Kapan kita bersatu? Walau sebenarnya jiwa kita tidak pernah sedetik pun terpisah, wo hen ai ni
Aku terpana.

Aku memergoki cicak bersetubuh pagi ini. Yang jantan kehitaman seperti orang Afrika. Yang betina keputihan seperti penderita albino. Mereka menyusuri dinding, rekat bagaikan satu ekor cicak berbuntut ganda. Sang betina terus merayap, seolah ingin menghentakkan si jantan sampai jatuh. Aku memalingkan wajah. Bagaimana dengan Naia? Terbayang di depan mataku badannya yang remuk ditindihi tubuh kekar David. Dua menit bagaikan berjam-jam. Jarum di jam dinding bergerak bagaikan di slow motion-kan.

“Gue kepingin mati, Fleur,” bisik Naia pada suatu sore.
Aku mengangguk, berlagak mengerti apa maksudnya.
“Jadi lo setuju kalau mati itu jalan keluarnya?” tanyanya heran.
Aku menyita menit demi menit untuk menelurkan kata-kata yang tepat. “Gue kan nggak bilang begitu. Dunia memang brengsek dan sialan. Tapi kita masih muda. What the hell with life, it sucks. Dan gue nggak mau kalah. Banyak hal yang belum gue cicipi…”
“Maksud lo, “dia”?”
Aku mengangkat sebelah alis. “Melebihi “dia”, Nai. Lo sadar? Gue belum pernah mencintai dan dicintai. Selalu one way love.
“Mungkin karena hati lo keburu ketutup ilusi dan obsesi.”
“Gue cuma kepingin tahu, kenapa dia nolak gue. Bayangin, Nai, satu-satunya cowok yang memperkenalkan gue sama Cinta nolak gue!”
“Lo kan tau kekurangan lo di mata dia, Say.”
Which part?”
Naia mengangkat bahu.“Do you really need to ask? Money, Honey! And please, get over him already, Dear! Like the old saying, there are plenty of fishes in the sea. He’s just not worth for you. You are a Goddess, you deserve much better person than him.”
Aku terdiam. Kehabisan kata-kata.
Out of the blue, “diacalled quit dari kencan virtual kami dab lari terbirit-birit seperti dikejar anjing gila begitu kami punya kesempatan berduaan.
            Still…apa emang duit bisa ngalahin Cinta, Nai? Demi Tuhan, cewek itu jelek, Nai. Jelek dengan kapital J! Dia sama sekali bukan tandingan gue. In fact, every men love me…
“Lo memang sombong, Fleur.” Naia terkekeh, menggeleng takjub.
Aku tertunduk lunglai. Tidak ada gunanya semua cowok memujaku. Every men love me, why didn’t he? Do Money and Power above D Love? Or it wasn’t Love at all for him? Maybe only my beauty that captured his heart and that beauty had lost the battle against money. Itu pertanyaan yang tak pernah kutemukan jawabannya.
Dan aku tidak tahu sampai kapan kubisa bertahan hidup tanpa cinta.



[1] terlalu manis (sunda)
[2] CiMol, pedagang  pakaian second kaki lima di kota Bandung

THE STORY OF LOVE PART 1-2

Hai, hari ini aku kepingin mengisahkan kisah yang sudah hampir satu dekade yang lalu kutuntaskan.
Aku harap kalian bisa menikmatinya.

 

The Story of Love

 My Crazy Imagination

Aku punya imajinasi. Khayalan gila. Kalian pasti tidak bisa menebaknya.

Bahkan sebelum melayang terbius ke dalam dunia mimpi, aku sudah merancang detailnya.
Aku ingin jadi pelacur tingkat tinggi. Bukan penjaja seks murahan yang nangkring di pinggir jalan dengan dandanan menor seronok. Bukan pula para cewek panggilan berkedok intelektual yang bisa dihubungi orang-orang tertentu dan menerima tawaran dari ukuran uang. 
Ada rumah besar. Mansion. Lengkap dengan kamar-kamar sekelas hotel bintang lima, butik, beauty center, fitness center, kolam renang dan spa.
Penyeleksian klien lewat ruangan tembus pandang. Aku benci om-om manula buncit flamboyan atau cowok berondong kerempeng culun jerawatan. Aku akan memilih klien yang dipamerkan seperti tersangka kriminal di kantor polisi. Dengan jari lentikku- kuacungkan telunjuk pada pilihanku. Mungkin “dia” bakal muncul dan kupakai.

Jadi, siapa yang melacurkan diri sebenarnya?


Aku telah menemukan kehidupan yang ingin kujalani. Hmm, sebenarnya tidak betul. Aku hanya sudah berhasil meloloskan diri dari borgol pembatas langkahku. Walau itu berarti mengorbankan kehidupan normatifku, I don’t care. Hidup hanya sekali. Dan singkat. Kedengaran klise tapi itu yang sebenarnya. Dan aku menyadarinya di usia yang agak terlambat, dua puluh lima tahun. Saat lenganku tidak berhasil menggandeng “dia” alias “the one”” (atau yang kuharap adalah “the one”), aku memutuskan untuk melepas harapan atas kehidupan normal. Dan aku tidak ingin jadi parasit lajang, meminjam ungkapan dari Ayu Utami. Menjadi lajang bukan berarti harus jadi parasit, kan? Aku ingin hidup sebebas burung dan lebih penting lagi, membebaskan diri dari beban duniawi. Semuanya toh hanyalah bullshit.
Maka dari itu aku pun menghadapi realitas yang membesarkanku.
“Ngapain sih kamu kos? Buang duit saja.” Mama mengerutkan dahi.
Aku tetap bergeming. Tinggal bersama orangtua walau tidak 24 jam lamanya tetap membuatku merasa terpenjara. Lahir dan batin. Bukan semata soal peraturan dalam rumah tapi lebih merupakan beban moral yang seharusnya diemban seorang anak. Aku tidak sanggup bercermin diriku yang kotor dan menjijikkan pada bola mata mereka yang keruh. Lebih baik aku pergi, menulikan telinga dari semua keberatan dan cercaan non-permanen ketimbang pelan-pelan jadi gila permanen.
“Dan kenapa kamu mau keluar kerja? Bukannya gaji kamu sudah lumayan? Terus kamu punya rencana apa?” cecar Papa.
Aku mengangkat bahu. Yang pasti, aku tidak mau menyiksa diriku lagi dengan melek jam 7 pagi untuk masuk kerja tepat jam 8 lalu berperan sebagai robot sampai jam 5 sore. Aku ingin hidup dengan waktu siesta sesukaku. Walau kalau dipikir-pikir, tanpa uang tidak bakal mungkin bisa siesta. Lingkaran setan yang menjengkelkan memang.
Aku lantas berjalan lunglai keluar rumah, menenteng dua buah koper penuh sesak. Aku tidak akan kembali.

Aku benci mandi. Tidak ada water heater di tempat kosku. Sudah hampir setahun ini aku tinggal di kos-kosan. Dengan kamar berukuran 3 x 3 meter aku merasa seperti pelarian yang hidup sekenanya. Malam dan pagi yang dingin di kota Bandung membuat penghuninya malas beranjak. Tua dalam rumah.
Bagiku mandi hanya sekedar formalitas. Kurang dari lima menit seharusnya cukup.
“Fleur, lo tuh mandi atau cuma mampir doang sih?”
Jeli, singkatan dari Jelita. Ia cewek paling rese yang pernah kutemui. Manis seperti permen, tapi rese - seperti permen jeli yang sering nyelip ke sela-sela gigi dan bikin gigi bolong.
“Penasaran? Mau mandi bareng?”
Ia melotot - seperti pesakitan kelenjar thyroid yang hyper.
Aku bersiul, berjalan melewatinya. Ia membuat tanda miring di dahinya. Sinting, itu maksudnya. Aku memang sinting.

Aku suka bermimpi. Aku tidur dengan satu tujuan, berkunjung ke dunia paralel.
Setiap kali bermimpi, kurasakan keanehan yang hangat. Aku merindukan tempat yang sama. Entah itu rumah lusuh sempit atau kastil indah misterius. Atau aku terlalu lama berdandan dan datang terlambat. Datang pada saat acaranya sudah bubar atau bahkan terbangun sebelum sempat menyelesaikan dandananku. Aku yang berjalan menyusuri jalanan asing dengan langkah berat. Tersesat dan akhirnya tidak bisa mencapai tujuan.
Tapi yang paling sering kuimpikan adalah rumah besar aneh. Rumah yang selalu mempunyai kamar mandi mewah dan luas.Berhari-hari aku memikirkan arti mimpiku. Dan kini aku tahu. Aku terlalu kotor. Dalam arti sebenarnya maupun kiasan. Aku yang kelewat malas mandi. Juga hidup seenak bujel. Aku harus mandi. Di bathtub lapang dan disesaki gelembung sabun. Menyikat tubuhku sampai tidak ada secuil pun kotoran yang selamat.
Mungkin empat tahun lagi, pikirku. When I hit the big Thirty…
Saat ini hidupku dilapisi debu. Debu yang datang lagi dan lagi dan lagi.  Mandi just wasting my time.

Beautiful Jacinta

Ia cewek berusia 24 tahun. Ayahnya keturunan Tionghoa dan ibunya keturunan India-Tionghoa. Matanya belo, hidung mancung, kulit putih, dan rambut ikal sepinggang seperti putri duyung. Dahinya yang sempit ditempeli permata berbentuk tetesan air mata persis di atas tulang hidungnya. Embel-embel berbau Hindi. Rambutnya dibaluri henna merah menyala seperti anak jalanan yang biasa main layangan di lapang kosong sampai gosong. Tubuhnya langsing dan tinggi.  Ia mengenakan shari warna merah menyala. Kami semua berwarna merah. Merah pembawa keberuntungan. Bahkan pakaian dalamku pun berwarna merah. Ia adalah sepupuku.
Terakhir kali kami berjumpa adalah pada saat sinchia[1] bulan Februari silam, di rumah Popoh[2].
“Hai, Cie[3]. Tambah cantik aja.”
“Kamu tambah seksi.”
“Ayo kita ngobrol.”
Ia menggandengku ke pojok yang sepi. “Aura Cie kelihatan kurang bagus. Cie nggak sakit kan?”
Aku menggeleng.
Jacinta kelihatan prihatin. “Mau diramal soal jodoh?”
Ia percaya punya indra ke enam. Ia bisa meramal masa depan dan kemudian merecokiku dengan segala tetek-bengek petuah dan peringatan.
“Kenapa Cie harus selalu membuktikan diri Cie sendiri?”
Aku mengernyit.
“Cowok yang udah nolak Cie itu memang bukan jodoh Cie, kenapa maksa?”
Aku terperangah sebelum mampu menelan ludah dan menetaskan kata-kata, “O ya?”
“Iya. Di mata Cie, enggak ada pria yang pas. Selalu ada aja yang kurang. Sadar nggak sih, Cie hidup dalam standar ilusi. Pernah kepikir nggak kalau “dia” nggak seperti yang Cie bayangin selama ini?”
Aku termangu dan mendesah.“Itu yang bikin kita penasaran kan?”
Jacinta tertawa manis. “Tapi nggak sehat lho, Cie. Cie nggak bakal bisa merasakan romantisme selama ada ilusi yang melebihi segalanya dalam benak Cie.”
“Katakan apa itu romantisme.”
“Saat seorang pria berkata I love you, dengan setangkai bunga mawar atau sekotak coklat, berlutut di hadapanmu. Saat ia membacakan sebuah puisi, membukakan pintu, memasakkan sesuatu, menggenggam jemarimu lembut, mendekap dirimu erat sampai pagi di depan layar tv. Saat ia mengecupmu dengan sepenuh hati sampai dirimu seolah terhanyut…”
Mata Jacinta menerawang jauh, bercahaya bagai sinar bulan di temaramnya malam.
“Walaupun itu bukan datang dari dalam hatinya juga nggak apa-apa?” tanyaku, tak mampu mencegah sarkasme sinis yang sudah mendarah daging.
“Tentu saja apa-apa. Semuanya nggak berarti kalau ternyata palsu. Cie, jangan bersikap skeptis seperti itu dong. Di zaman seperti ini, masih ada lho cinta sejati.”
Aku tersenyum, ikut-ikutan berharap semu. “Akan kuberitahu kalau sudah nemu.”
Jacinta mengangguk, tidak puas.

Minggu kemarin Popoh meninggal. Beliau terkena kanker rahim. Stadium akhir.
Wajahnya tirus dengan geligi ompong membuat pipinya kempot. Seperti buah apel yang sudah mengkerut. Suster memasangkan gigi palsu emasnya. Mukanya gemuk kembali, putih dan manis. Pesis seperti oma-oma Belanda dengan freckles coklat memenuhi pipinya dan rambut putih ikal menipis. Perutnya membengkak dipenuhi cairan mematikan.
Jacinta memelukku. “Cie, makin cantik aja,” bisiknya. Mata besarnya berair.
“Kamu makin seksi aja.”
“Cie, mau diramal soal jodoh?”
Aku mengangguk. Kami berjalan menuju pojok yang sepi. Aku merasakan gelombang déjà vu yang kuat. Seperti mimpiku malam kemarin, Popoh tertawa di ruang tamu bersama para ii-ichong[4], kiu-kiu-kiumeh[5], kukuh-kuchong[6] dan suksuk-sukmeh[7].  Gigi emasnya berkilauan seperti obor di gua gelap. Mata Cina-Belandanya sipit dengan pupil coklat. Perut gendutnya menyembul seperti sedang menyekap janin berusia 8 bulan.
“Cie harus menghilangkan obsesi Cie, melupakan kegagalan Cie. Ditolak seorang cowok bukan berarti Cie nggak menarik. Sebaliknya, cowok itulah yang goblok. Cie harus membiarkan romantisme masuk dalam kehidupan Cie.”
Matanya melotot, warna putihnya pekat bagaikan susu. Hitam di matanya mengecil, membuatku menggigil. Seperti melihat hantu berambut panjang tanpa pupil.
“Iya.”
“Akan ada seorang pria matang terpelajar masuk ke dalam kehidupan Cie. Dia adalah soulmate Cie. Jangan lewatkan. Jangan rusak dengan idealisme yang berlebihan. Oke?” Ia mengedipkan mata.
Aku mengangguk walau sama sekali meragukan kebenaran ramalan sepupuku itu.

Aku adalah warga Indonesia keturunan Tionghoa. Mataku, kebetulan, tidak sipit namun lipatan mataku memang bandel, sering ngumpet. Kulitku seputih susu. Tidak ada jejak yang melunturkan identitasku sebagai amoi berponi kependekan.
Aku benci disebut cici. Aku menyukai panggilan teteh dan mbak. Itu adalah sisa-sisa cengkraman ORBA yang menyisihkan para keturunan Cina seperti tumpukan sampah yang kian menggunung. Seperti kotoran mata yang tidak mungkin dienyahkan. Selalu muncul dan muncul lagi. Kriminal ekonomi kelas kakap. Walaupun sejak MG (Meteor Garden) booming dan Roger Danuarta jadi idola baru, jadi Cina not so bad anymore.
Jacinta tidak pernah dicurigai berdarah Cina. Ia bangga habis-habisan dengan darah Indianya. Walau sebagian kecantikannya adalah warisan dari darah Cina yang mendominasi ¾ tubuhnya.

Popoh telah meninggalkan dunia ini. Beberapa jam sebelumnya ia mengigau melihat tangga. Tangga menuju langit. Tidak ada pangeran kegelapan yang datang menjemput. Hanya terang menyilaukan. Popoh telah terbebas dari penyakit yang menggerogoti tubuh rentanya, sama seperti ulat yang menggigiti apel diam-diam hingga menciptakan terowongan yang dalam.
Selamat jalan, Popoh.  Zai jian


[1] Perayaan tahun baru Imlek/ tahun baru Cina
[2] Nenek
[3] Cie Cie/Cici = kakak perempuan
[4] Ii = bibi , Ichong = suami bibi (dari ibu)
[5] Kiu-kiu = paman, Kiumeh = istri paman (dari ibu)

[6] Kukuh = bibi, Kuchong = suami bibi (dari ayah)
[7] Suksuk = paman, Sukmeh = istri paman (dari ayah)