Friday 23 May 2014

THE (HIDDEN) TRUTH ABOUT DANGEROUS GAME

THE (HIDDEN) TRUTH ABOUT DANGEROUS GAME


Karena satu dan lain hal, sebenarnya Dangerous Game yang tercetak di buku bukanlah versi finalnya. 
Ada beberapa perubahan detail yang dirubah dan ditambahkan di versi FINAL Dangerous Game.

(contain spoiler)
1. Kenzo melanjutkan S2 bukan di Jerman tapi di RMIT University, Melbourne jurusan desain grafis.
2. Ucapan Sarang haeyo yang kerap digunakan Josie diganti dengan Aishiteru.
3. Ada tambahan 1 bab yang seharusnya menjadi bab 8.
4. Dan beberapa perubahan kalimat serta penambahan detail.


-BAB DELAPAN-
Let me be your guardian angel. Let me love you.
Because my heart already belongs to you.
Only you.

TERNYATA Mario menepati janjinya. Ia memang tak pernah menyerah mendekatiku. Seperti siang ini saat tiba-tiba saja ia muncul di kampusku tanpa peringatan. Untung saja aku sedang tidak bersama Kayla!
            “Kak Rio?! Ngapain Kakak di sini?” tanyaku gelisah. Sementara itu Mario berdiri di hadapanku dengan senyum secerah matahari siang ini dengan penampilan tanpa cela dan membuat jantungku melompat-lompat kegirangan.
            “Memangnya kampus ini tempat terlarang buatku ya?” Mario melirikku.
            Aku mendesah pelan. “Bukan gitu… ngg nggak enak aja diliat temen-temen, Kak.”
            “Kamu ada kuliah lagi?” Wajah Mario penuh harap.
            Aku menggeleng, kebetulan aku memang baru saja mau pulang.
            “Aku antar pulang, ya?”
            Aku menatapnya ragu. Seandainya aku mengiyakan, bagaimana kalau besok-besok ia datang lagi? Keberuntungan tak mungkin datang dua kali, bukan? Bisa saja lain kali aku sedang bersama Kayla!
            “Ngg, boleh, tapi dengan satu syarat.”
            “Syarat?” Mario menatapku penuh tanda tanya.
            “Lain kali Kak Rio nggak boleh nyamperin aku ke kampus lagi, ya?”
            Mario menggaruk kepalanya kebingungan. “Kenapa?”
            Aku mengangkat bahu. “Ya, aku nggak suka aja.”
            “Oke, oke, tapi sekarang mau dong kuantar pulang?”
            Aku mengangguk dan tak dapat menahan senyum saat melihat raut wajah Mario yang kegirangan.
            Ternyata, bukannya langsung mengantarku pulang, Mario malah membawaku ke restoran Sushi Tei.
            “Aku laper, nggak keberatan kan temani aku makan sebentar?” Ia nyengir saat aku mulai  melancarkan protes. “Kamu suka sushi, kan?”
            Mau tak mau aku mengangguk. Suka? Kurang tepat kalau cuma suka. Membayangkan sushi saja bisa membuat air liurku terbit. Apalagi kalau makannya berdua dengan Mario.
            Aku membiarkan Mario memesan duluan sementara pandanganku mengitari restoran sushi yang lumayan tersohor ini. Beberapa pasang muda-mudi menghuni meja di sekitar meja kami. Melihat wajah semringah mereka, perasaan aneh tiba-tiba menghinggapiku. Aku menoleh, menatap Mario yang masih sibuk membolak-balik buku menu.  Tanpa bisa kucegah, kejadian saat di jalur lintas alam terbayang lagi di pelupuk mataku. Dan dadaku berdesir hangat. Saat Mario menggenggam tangan dan mendekapku, aku tak dapat menyangkal perasaanku. Aku tahu persis betapa berbahayanya permainan yang tengah kumainkan, tapi kenapa aku tak kuasa menampik?
            “Kamu mau pesan apa, Jo?” tanya Mario membuatku tersentak.
            “Ngg, Kakak udah pesan apa saja?”
            “Aku udah pesan jumbo salmon roll, salmon sashimi, dan salmon maki. Kamu mau nambah apa?”
            “Ini aja.” Aku menunjuk pada salah satu gambar di buku menu. “Salmon mentai canapĂ©. Kelihatannya enak.”
“Minumnya?”
Cold Ocha,” jawabku mantap. Untuk urusan minuman pendamping sushi, nggak ada yang bisa menandingi Ocha atau teh Jepang dingin.
Good choice.” Mario tersenyum padaku sebelum membacakan pesanan kami pada pramusaji.
Untungnya kami tak perlu menunggu lama untuk pesanan kami.
Itadakimasu.” Mario mulai memindahkan beberapa sushi ke dalam piringku. Aku membiarkannya, menikmati perasaan nyaman itu lagi. Dulu Kenzo sering melakukan hal serupa. Membuatku merasa seperti tuan putri yang dimanjakan.
            “Kamu tau nggak cara makan sushi yang benar?” Mario menatapku penuh arti.
            Aku mengernyitkan dahi. “Benar? Maksudnya?”
            “Coba, aku mau lihat gimana cara kamu makan sushi.” Ia bersedekap, seolah hendak mengujiku.
            Aku mendengus geli namun menuruti permintaan Mario. Perlahan kucelupkan sushi maki ke dalam shoyu kemudian menggigit sushi jadi dua dan meletakkan sisanya ke dalam piringku.
            “Kamu sadar nggak, kamu udah buat dua kesalahan.”
            “Hm? Maksud Kak Rio?”
            Watch and learn.” Mario menyumpit sushi dan mencelupkannya ke shoyu kemudian melahap sushi tersebut dengan sekali suapan.
            “Pertama, mencelup sushi ke dalam shoyu itu nggak boleh sampai mengenai bagian nasinya. Coba aja lihat sushi yang tadi kamu makan, hancur kan nasinya? Jadi, cukup celupkan sampai kena nori-nya saja. Kedua, menyantap sushi itu nggak boleh setengah-setengah. Harus sekali hap.”
            Aku manggut-manggut. “Oh, begitu ya.”
            “Nih aku contohin sekali lagi.” Tiba-tiba saja Mario menyumpit sepotong sushi, mencelupkannya ke dalam shoyu dan menyodorkannya padaku! “Aaa, buka mulutnya lebar-lebar…”
            “Kak Rio!” desisku kaget.
            “Kenapa? Aku kan cuma mau ngajari kamu makan sushi yang baik dan benar.” Ia mengedipkan sebelah mata. “Ayo, jadi anak yang manis dong, buka mulutnya.”
            Mau tak mau aku membuka mulut dan merasakan panas seketika merayapi wajahku.
            “Hap. Good girl!” Mario terkekeh melihatku salah tingkah.
            Hatiku seolah meleleh saat melihat tawa Mario. Sekali lagi, kenapa cinta harus begitu sulit dan menyakitkan bagiku? Kenapa tak bisa ringan dan sederhana?
            “Kok jadi ngelamun sih?” Mario menatapku penuh arti.
            Aku memaksakan tawa kecil. “Kata siapa ngelamun? Eh iya, omong-omong, Kak Rio bilang kuliah bisnis buat bantu usaha Bokap. Kalau boleh tau, memangnya usaha ortu Kak Rio apaan sih?”
            “Papa punya pabrik tas, Jo. Kebanyakan tas anak atau tas ransel. Produk kami tersebar di banyak mal di Bogor dan Jakarta. Beberapa ada di Bandung, Surabaya, dan Bali. Cita-cita Papa ingin suatu hari mengekspor tas buatan kami sampai ke luar negeri. Makanya Papa nyuruh aku ambil master di bidang bisnis supaya bisa bantu beliau.”
            “Kalau gitu, kenapa Kak Rio nggak sekalian aja kuliah di luar negeri?” tanyaku penasaran. Melihat latar belakang usaha ayahnya Mario, sepertinya mudah saja bagi Mario untuk ambil master bisnis di kampus mana pun di luar negeri.
            Mario menghela napas, mendadak wajahnya tampak muram. “Tadinya aku memang ada rencana mau ambil master bisnis di Australia, Jo. Tapi aku nggak mungkin ninggalin Nicole.”
            “Kenapa nggak mungkin?” cetusku heran.
            “Ketergantungan Nicole sama aku itu sangat tinggi. Wajar saja mengingat hubungan kami memang dekat. Aku juga nggak tega ninggalin Nicole di sini sendiri.”
            Aku menahan rasa heranku. Nggak tega? Kenapa harus nggak tega? Toh Nicole bukan adik kandungnya, bukan? Kenapa semuanya terdengar aneh dan tak masuk akal?
            “Bukannya Nicole masih punya mamanya, Kak?” tanyaku tak bisa menahan diri. “Lagian, kenapa Nicole nggak kuliah? Sayang kan kalau dia hanya ikut kursus bahasa dan keterampilan.”
            Namun Mario hanya mengangkat bahu. “Dari kecil mama Nicole sibuk kerja di perusahaan kami sehingga hubungan mereka kurang dekat. Jadi bisa dibilang, satu-satunya orang yang paling memahami Nicole adalah aku.”
Satu-satunya? Kenapa perkataan Mario itu malah membuatku resah? Namun aku menahan lidahku meluncurkan serentetan pertanyaan. Untuk hari ini saja, aku nggak mau Nicole mencemari momen kami berdua,
“Sedangkan urusan kuliah, sebenarnya aku juga sudah sering bujuk Nicole supaya kuliah. Dia bisa ambil jurusan apa saja yang dia mau. Tapi ya, begitulah, anak itu kadang memang luar biasa keras kepalanya. Dia merasa kuliah hanya buang-buang waktu saja. Entah gimana cara mengubah sudut pandangnya itu. Mungkin kamu bisa bantu, Jo?”
Aku hanya tersenyum kecil. Bantu? Kalau Mario yang notabene adalah orang terdekat Nicole nggak bisa mengubah pendirian cewek itu, apalagi aku?
            “Kamu sendiri, apa cita-citamu, Jo? Maksudku, selepas kuliah ini kamu mau ngapain?”
            Aku bertopang dagu, separuh termenung. Selama tiga tahun setelah kepergian Kenzo, aku seolah hidup dalam mimpi buruk. Aku merindukan sesuatu yang tak mungkin kudapatkan. Namun suatu hari, tak sengaja aku menonton acara jalan-jalan di televisi dan  acara itu menginspirasiku. “Ngg… yang jelas aku kepingin kerja dulu dan nabung sebanyak-banyaknya.”
            “Buat apa? Biaya nikah?” Mario menatapku dengan sorot mata menggoda.
            “Memangnya nikah harus pakai uang yang banyak ya, Kak?” Aku balas menggodanya.
            “Nggak perlu kalau nikahnya sama aku.” Ia lagi-lagi tersenyum.
            Aku menunduk, merasa kalah telak. Mana mungkin aku mengikuti permainan Mario kalau jantungku terus berdebar-debar seperti ini dan tanganku gemetaran di balik meja?
            “Tapi aku yakin bukan itu alasanmu nabung sebanyak-banyaknya, kan?” sambung Mario.
            Aku mengangguk. “Aku kepingin traveling, Kak,” sahutku sambil mendesah. Dulu cita-citaku tak pernah seambisius ini. Aku hanya ingin menunggu Kenzo pulang dan memulai hidup baru bersamanya. Melakukan apa saja yang Kenzo ingin lakukan. Semuanya berpusat pada Kenzo. Aku tak pernah memikirkan apa yang sebenarnya ingin kulakukan. “Maksudku traveling di sini itu benar-benar tipe backpacker yang menjelajah sampai ke pelosok-pelosok.”
            “Wow, cita-cita yang menarik. Dalam negeri atau luar negeri?”
            Aku mengangkat bahu. “Kalau dananya cukup, aku ingin ke Yunani. Aku suka lihat kota-kota tua yang menyimpan banyak cerita. Aku bisa membayangkan diriku menyusuri jalanan berbatu dengan kamera di tangan. Menyimak sejarah di balik setiap puing reruntuhan yang eksotis. Aku berencana bikin jurnal yang bisa mengabadikan pengalamanku itu. Meninggalkan segala rutinitas yang membosankan dan berkelana ke dunia yang sama sekali berbeda. Tapi yah…” Aku terdiam sejenak. “Aku nggak tahu apa semua itu mungkin.”
            Mario tampak terkesima mendengar penuturanku. “Kenapa nggak mungkin?” bisiknya.
            Aku  hanya mengangkat bahu.
            Tiba-tiba Mario meraih jemariku. “Kuharap, aku berkesempatan menemani the beautiful traveler menjelajah kota tua sekaligus menjaganya dari bahaya.” Ia berkata pelan dan membuatku tercekat.
            “Aku bisa membayangkan, kita berjalan kaki dengan ransel di pundak, menenteng peta dan kamera, serta menikmati pemandangan yang menakjubkan. Aku juga bisa membayangkan kita bergandengan tangan, menanti matahari terbenam sambil menyesap kopi. Seolah dunia hanya milik kita berdua.” Mario menatapku tanpa berkedip.
            Aku nyaris tak mampu bernapas, seolah ia telah menghabiskan semua persediaan oksigen di sekitar kami. Jantungku berdentum begitu dahsyat sehingga aku tak bisa memikirkan apa pun. Aku tak kuasa mengelak dan kubiarkan diriku jatuh ke dalam pusaran yang menggelisahkan sekaligus menggairahkan.

***

“Itu cowok yang sering main ke rumah, kok nggak dikenalin sama Mama sih?” Mama tiba-tiba saja menghampiriku yang sedang asyik mengamati ikan hilir-mudik dalam akuarium.
            “Ih, Mama apaan sih.”
            “Lho, Mama kan cuma nanya.” Mama duduk di sampingku sambil senyam-senyum. “Siapa sih namanya? Cakep juga.”
            “Mama genit ih. Namanya Mario. Cakep ya, Ma?” tanyaku menahan senyum.
            Mama mengangguk sambil mengelus rambutku. Aku tahu, isi kepala Mama pasti dipenuhi banyak pertanyaan.  “Naksir kamu, ya?”
            Aku mengangkat bahu. “Cuma teman kok, Ma.”
            “Teman kuliah? Kayaknya nggak mungkin ya? Mama lihat orangnya dewasa, lebih tua dari kamu, ya?” Mama menatapku, menyelidik.
            Aku mengangguk. “Mario kuliah S2 bisnis di Universitas Nusa Jaya, Ma.”
            “Universitas Nusa Jaya?” Kulihat dahi Mama berkerut. Aku tahu, Mama pasti teringat pada Kenzo.  “Kamu kenal dari mana?”
            “Adiknya Mario itu tetangga baru Kayla. Pindahan dari Bogor.”
            Lagi-lagi dahi Mama mengernyit. Aku tahu, aku pun sama resahnya seperti Mama. Kenapa semuanya serbakebetulan? Universitas yang sama, kota yang sama. Hanya saja Mama tidak tahu bahwa Kenzo itu lebih dari sekadar mantan calon kakak ipar bagiku. Mungkinkah semua ini memang takdir? Aku meringis, ngomongin takdir membuatku merasa seperti orang tua yang berpikiran kolot.
            Sementara itu Mama tidak bertanya apa-apa lagi. Aku tahu Mama ingin melihat aku bahagia. Selama ini, aku seolah hidup dalam bayang-bayang Adela. Kini Adela sudah hampir menikah. Aku tahu Mama tak ingin membebani dan mendesakku. Aku membiarkan Mama merangkul bahuku, menemaniku dalam kesunyian yang menenangkan.

***

Beberapa hari kemudian ada kiriman yang ditujukan padaku.
            “Belanja online, Jo?” tanya Adela penasaran. “Beli apaan? Kok besar amat?” Ia berjalan menghampiriku.
            Aku mengangkat bahu. “Aku nggak order apa-apa kok, Kak. Dari siapa ya?”
            “Wah, jangan-jangan kamu punya penggemar rahasia, Jo? Buka dong! Aku suka banget sama kejutan. Eh, tapi isinya bukan bom kan?” Adela duduk bersila di sampingku dengan wajah bersinar-sinar seolah menantikan sesuatu yang menyenangkan.
            Aku mengerling.  “Memangnya aku incaran teroris ya, Kak?”
            “Hihihi, ya kan siapa tahu?”
            Aku mengabaikan ocehan kakakku itu dan mulai membuka bingkisan itu dengan tak sabar.  Dari siapa ya kira-kira?
            Dan saat melihat isinya, aku pun tertegun. Di dalamnya terdapat beberapa buku tentang traveling. Ada juga peta Yunani serta buku panduan jalan-jalan ke negara tersebut.  Di antaranya ada buku Traveling for Couple dan membuatku terkikik.
            “Ini apaan sih? Kamu menang quiz di radio ya, Jo?” tanya Adela mengamati buku-buku yang setebal kamus. “Kok semuanya tentang traveling? Memangnya kamu ada rencana buat traveling ke mana?”
            Aku menahan tawa. “Iya, ini hadiah dari radio. Seratus buat Kak Dela,” jawabku asal sambil meneruskan mengaduk isi paket. Eh, ada suratnya! Dengan cekatan, aku pun berhasil menyembunyikan surat itu dari Adela.
            “Kak, aku ke WC dulu ya, kebelet pipis!” sahutku dan langsung melesat meninggalkan Adela yang masih terheran-heran melihat isi paket.
            Aku pun menutup pintu kamar mandi dengan dada bergemuruh. Sudah lama sekali tak kurasakan sensasi mendebarkan seperti ini. Dengan hati berbunga-bunga, kubuka surat tadi. Wah, ada fotonya! Aku mengamati foto-foto itu dengan napas tercekat. Astaga, indahnya!  Ada yang melukiskan keindahan kota tua dengan jalanan  dan rumah dari bebatuan. Foto lainnya menggambarkan pantai dengan pasir yang tampak begitu lembut dan hangat di  samping air laut yang biru jernih, membuatku seolah mencium aroma asin air laut yang menyegarkan.  Ada juga foto reruntuhan gedung dengan pilar-pilar tinggi yang anggun. Foto lain lagi adalah pemandangan kota dengan rumah-rumah seputih salju di atas tebing yang menakjubkan.  Namun foto terakhir-lah yang paling membuatku terkesima. Foto itu adalah foto sepasang traveler  dengan ransel di pundak, saling menatap dengan sorot mata bahagia. Mereka berdiri di atas tebing, membelakangi pemandangan matahari terbenam dengan pijar jingga yang memukau.
            Tak sabar kubuka lipatan surat yang terselip di antara tumpukan foto tersebut.
           
            Beloved Josie,
                        Aku harap suatu hari nanti, kamu bisa mewujudkan cita-citamu. Dan kuharap, bila saat itu tiba, kamu sudah mengizinkan aku menempati posisi dalam hatimu dan membiarkan aku berjalan di sisimu.
 Dapat kubayangkan, kita berdua menyusuri jalanan berbatu di kota Rhodes, mengabadikan puing-puing bersejarah di kuil Olimpia Zeus, menikmati pemandangan matahari terbenam dari Pulau Santorini, berjemur di pantai Lindos dan pantai Saint Pauls, dan menjelajahi lebih banyak lagi tempat-tempat eksotis di Yunani.  Persis seperti impianmu.
                        Kuharap, kita bisa seperti pasangan bahagia yang bergandengan tangan dan berbagi momen-momen menakjubkan seperti dalam salah satu foto yang kuselipkan.
                        Kuharap kamu mau memberiku kesempatan. 
Let me be your guardian angel. Let me love you.
Because my heart already belongs to you.
Only you.
I love you, Josie
Mario.
           
            Aku melipat kertas itu dengan dada yang mendadak sesak. Kubiarkan air mata mengalir dan membasahi wajahku. Bagaimana ini? Bagaimana aku bisa lari dari sesuatu yang  seindah ini?  Bagaimana aku sanggup menghindar lagi?  Apa yang harus kulakukan?


 


No comments:

Post a Comment