Tuesday 27 May 2014

THE STORY OF LOVE CHAPTER 5

The Beginning of My Story

Aku akan berusia 26 tahun pada awal tahun depan nanti. Kata Mama, arti namaku adalah bunga. Tapi aku sama sekali tidak merasa konek dengan keberadaan bunga yang serba indah dan manis namun cepat layu. Aku mengibaratkan diriku bagai buah belimbing. Bila diiris tipis, bentuknya seperti bintang di kanvas kelam malam hari. Bintang yang berkilau dan gemerlapan bagai berlian dari kejauhan. Ingat kan lagu twinkle-twinkle little star? Ada baris yang berbunyi, like a diamond in the sky. Itu ilusi, tentu saja. Kalau dipikir-pikir, sama seperti cinta. Kerlap-kerlip bintang membius mata, memukau setiap insan. Namun, apa yang terjadi bila kau terbang ke luar angkasa dan mendekati bintang? Bukankah bintang itu hanya pecahan meteor yang jelek? Semua yang indah itu hanya ilusi yang membutakan. Twinkle-twinkle little love. Misterius namun begitu kau mengalaminya, kau akan terpuruk dalam kekecewaan yang begitu menyakitkan…
Kembali ke filosofi belimbing. Bagaimana dengan rasanya? Ada yang manis, memang. Tapi kebanyakan kecut dan bertambah membuat miris bila dikunyah dengan garam. Walaupun begitu bisa bikin orang merem-melek. Keenakan. Itulah aku. Persis.
Sudah hampir satu tahun aku meninggalkan rumah. Meninggalkan aturan normatif. Mungkin orangtuaku akan menyesali kepergianku, tapi mungkin juga malah mensyukuri. Jujur saja, aku merasa ada sekrup yang hilang dari otakku. Entah lupa diciptakan oleh Sang Maha Pencipta atau mungkin memang ada namun sudah soak.
Itulah aku, aku seperti kutu yang menggigit bokong mereka - gatal luar biasa tapi terlalu malu untuk menggaruk di depan umum. Kini mereka sudah terbebas dari aku, harusnya mereka bahagia. Kuharap saja.
Sekarang aku bekerja menjadi penjaga butik. Butik kecil bernama Star. Pemiliknya adalah temanku satu-satunya, saudara kembar yang terpisahkan oleh nasib. Namanya Naia.
Kami sedang mempertimbangkan kehidupan ini. Ada apa dengan kehidupan ini? Mau apa? Aku telah meninggalkan kehidupan beradab untuk jadi pengemis berkedok penjaga butik. Naia sedang berkecimpung dalam dunia mayanya. Hidup dalam imaji, memimpikan bersuamikan orang lain. Ia terbius dalam misteri perselingkuhan. Kami berdua sama-sama brengsek. Clueless. Hidup ini bagaikan seonggok dirt.

“Inget, Fleur. Pagi-pagi semua lampu sebaiknya menyala. Itu akan membangkitkan chi positif, energi positif.” Naia memulai ‘sarapan paginya’.
“Begitu juga dengan rekening listrik positif,” sahutku memulai sarkasmeku dengan tawa sumbang.
Naia mengerling dengan dahi berkerut.
“Bagaimana semalam?” lanjutku ringan.
“David pulang jam dua subuh. Bagus, gue bisa ngobrol sama Jon. Aneh, saban kali gue telpon-telponan sama dia- rasanya so real. Seakan-akan gue sedang bersentuhan dan berpelukan sama dia. Gue nggak ngerti, kayaknya jarak pemisah di antara kita nggak ada lagi. Semuanya enggak realistis, yang ada di depan mata gue hanya dia. Dan dia juga kiss gue. A Soul Kiss, Fleur… Isn’t it amazing?”
“Mungkin kalian emang berjodoh,” jawabku asal-asalan.
Naia menanggapiku serius. “Gue emang selalu berpikiran begitu, Fleur. Gue pikir- kita hanya butuh waktu. Cepat atau lambat, gue percaya, kami pasti bersatu.”
Aku menahan diri untuk menguap. Aku selalu tidak tahan dengan kisah romantis sepasang kekasih sejiwa. Laki-laki tidak bisa hidup tanpa seks. Wanita tidak bisa hidup tanpa romantisme. Jadi laki-laki menjual secuil romantisme mereka demi seks yang dasyat. Hukum dagang dalam percintaan. Sejak kapan cinta jadi komersil? Ah, aku kan sudah mengalaminya sendiri. Aku berani bertaruh, “dia” menjual Cintanya demi obsesinya. Aku tidak tahu lagi apa artinya romantisme. Aku hanya tahu seks yang membuatku kesemutan. Aku tidak perlu pria untuk mendapatkan kepuasan.
Aku menangkap bayanganku dalam cermin di tengah-tengah butik. Banyak orang mengatakan aku memiliki kecantikan unik. Mataku mempunyai daya tarik seperti penghipnotis yang bisa memperdaya hati pria. Tidak benar, itu jelas, karena hati “dia” tetap tak terjamah. Atau mungkin, hipnotisku kalah dari hipnotis si pewaris kerajaan sepatu. Tapi sempat terpikir olehku semuanya dikendalikan oleh otak, sebab yang sebenarnya- mataku agak juling. Tidak ada yang sadar, sebab mereka dikelabui illusi yang kuciptakan. Hidungku agak bengkok - akibat jatuh dari sepeda sewaktu balita. Bengkok seperti nenek sihir. Lucunya, mereka mengatakan aku eksotik. Aku tidak mengerti. Bibirku penuh seperti disuntik kolagen. Pria-pria yang sudah menciumku mengatakan bibirku seperti agar-agar, licin dan empuk. Menyalurkan sensasi aneh, bikin orang menagih. Rambutku nyaris tak pernah kuurus. Acak-acakan bergelombang warisan dari gen nenek moyang yang melambai sampai ke tengah punggung. Sintingnya, semua pria memujanya. Aku tidak perduli, yang penting aku tidak perlu repot-repot bersisir pada saat bangun pagi. Anggaplah ini hadiah dari Tuhan.  Bed head itu seksi, kan? Badanku memang setipis papan cucian. Tapi aku tidak pernah mau ribet walaupun Naia berkali-kali menyentil tentang wonder bra dan suntik silikon. Kenapa harus memuaskan nafsu pria secara gratisan? Dan aku memang tidak perlu semua itu. Aku adalah Goddess. Kesombonganku menciptakan aura misterius. Aku memang terlalu angkuh.

            “Apa lo mau menyerah, Fleur?”
“Menyerah?”
“Menyerah dari cengkraman “dia”! Hidup lo mau dibawa ke mana sih, Say? You’re not getting any younger, you know. Lo kan bilang enggak mau jadi penjaga butik gue seumur hidup elo. Elo juga ngomong enggak mau jadi tai-tai yang hidup enak tapi kosong. Kayak gue. David emang banyak duit. Gue enggak usah susah-susah. Mau pelesir ke luar negeri enggak masalah kok. Mau ke mana? HongKong, Singapur, Jepang? Itali, Perancis??? Tapi gue enggak butuh semua itu, Fleur. Lo tau kan apa yang gue pengen? Hidup sama Jon. Itu aja. Kenapa susah amat sih?”
“Kalau gitu elo cerai aja sama David,” jawabku sekenanya.
Are you joking, Hon? Bokap gue bisa stroke dan gue bisa jadi anak durhaka yang dikutuk seumur hidup gue. Lagian enggak bakalan bisa semudah itu. David sudah pernah wanti-wanti dia mau clean record, clean reputation. Dan itu termasuk keutuhan rumah tangganya. Semua orang tahu dia hobi main cewek, tapi nggak ngaruh kok. Who cares? Yang penting dia punya istri setia yang berfungsi jadi trophy saat acara-acara formal dan juga sebagai mesin pembuat anak. Gue bisa dibunuhnya sebelum sempat telpon pengacara buat minta cerai, Fleur.” Mata Naia nanar seperti sedang menceritakan pengalaman sakit Aids. Menjerat kehidupan sampai ajal menjemput. Keropos sampai tidak ada daging tersisa. Yang bisa dilakukan hanya menunggu.
“Lo tau nggak, Say. Infidelity itu layaknya minum tequila di Meksiko. Alias, benar-benar normal. Nggak ada kata cerai dalam kamus mereka. Tapi pil atau wil? No problemos. I wish I could adopt that attitude. Tapi gue nggak bisa. Gue kepengen hidup normal dan indah. Bersama Jon. Hanya bersama dia. Mimpi sederhana tapi mustahil.”
Naia berhenti sambil mendesah lalu tiba-tiba dengan datar melanjutkan, “Tiba-tiba aja gue inget. Lo tau nggak, Say, di India, orang tua pengantin harus ngasih mas kawin buat pengantin cowok. Makin tinggi derajat si cowok, makin gede juga duit yang harus disiapkan. Udah gitu, ternyata banyak kasus, sang suami kemudian dengan sengaja membakar istrinya hidup-hidup dengan kesan seolah-olah itu cuma accident belaka supaya bisa kawin lagi dan dapet mas kawin lagi. Can you imagine?
Aku terbelalak. “Masa sih? Emang lo tau dari mana?”
Naia melirikku malas. “Masa gitu aja lo masih nanya? Oprah is my only lao shi[1].
“Terus gimana dengan ortu si cewek? Enggak ngamuk emangnya?”
Naia mengangkat bahu. “Ironis dan menyedihkan. Mereka memilih bungkam karena menganggap yang terjadi pada anak mereka adalah aib yang harus dikerangkeng rapat-rapat.”
Kami terdiam untuk beberapa saat sebelum wind chime yang tergantung di depan pintu masuk bergemericing. Ada tamu. Aku berharap-harap jenuh. Pasti sekumpulan cewek muda ganjen pemamer perut dan bahu telanjang. Ribut seperti sekawanan bebek bersuara sengau.
“Mih, Aira pengen yang warnanya merah.”
“Boleh. Kamu pilih aja yang kamu suka, Sayang.”
Aku memperhatikan dengan seksama. Ada wanita mungil berparas lembut mewah. Ada  remaja putri gendut manja. Ada pria tinggi berkacamata yang menyambutku dengan senyum sehangat mentari pagi.
I love you for a sentimental reason. Lagu yang romantis. Aku memejamkan mata sekejap, menghirup udara AC, membayangkan suasana coffe shop di tahun 1940-an. Naia sibuk memamerkan koleksi terbaru dengan sebaris gigi putih bersinar seperti fosfor. Aku mengamati dengan mata separuh tertutup. Aku memang sangat mengantuk. Tidur 12 jam sehari bisa membuatmu letih, seperti efek samping dari penggunaan obat tidur berlebihan.
“Mau cari yang kayak gimana?” Naia memulai perannya sebagai pemilik butik yang luwes.
Wanita lembut itu memandang remaja gendut yang kelihatan bingung.
“Bingung ya? Memangnya untuk acara apa?” tanya Naia lagi.
“Pesta ulang tahun yang ke sebelas,” jawab wanita lembut.
“Hm…hm…mungkin saya tahu.” Naia bergegas mencari-cari sesuatu di antara pakaian yang bersesakan.
“Aira kepengen yang merah,” cetus remaja gendut bersuara lantang.
Naia mengangguk-angguk seakan mengerti. Merah adakah warna kegemarannya juga, warna pembawa hoki. Aku memandang dengan mata menyipit, wanita lembut itu tampak masih segar. Belum ada tapak keriput di wajahnya yang halus. Hanya ada laughing line yang bersahabat. Tanpa kuduga ia menangkap tatapanku dan tersenyum gemulai. Dengan senyum menempel, ia menghampiriku.
“Maaf, saat melihat kamu saya jadi teringat pada adik saya. Saya berniat membelikan gaun untuk ulang tahunnya yang ke 26. Tipe badan kalian kurang lebih sama, bisakah kamu membantu saya?”
“Tentu saja.”
Ia melenggang, menunjuk gaun panjang merah darah gemerlap yang terpajang di tubuh tanpa cacat sang manekin dengan jari-jarinya yang berkuku ungu muda. Tanpa bicara aku melepas baju itu dan membiarkan tubuh pucat manekin telanjang memalukan, payudaranya mencuat sempurna.Aku berjalan menuju kamar pas, melucuti semua pakaianku kecuali celana dalam dan memasukkan gaun itu tanpa kesulitan. Bentuknya pas meliliti tubuh kerempengku.Tanpa menghiraukan bajuku yang berserakan di lantai aku pun keluar untuk memamerkan diri.
Penampilanku disambut oleh tatapan kagum si wanita lembut. Namun masih ada sepasang mata yang mengintai, menyimpan nafsu terpendam. Aku bisa merasakannya. Dia adalah si pria berkacamata.
“Bagus banget. Pih, gimana pendapat Papih? Cocok kan buat Ame?” tanyanya menoleh pada pria berkacamata.
Dia mengangguk-angguk dengan senyum palsu. “Selera Mamih kan oke,” ucapnya mengedipkan mata.
Si wanita lembut tersenyum senang lalu menoleh padaku. “Terimakasih, kamu baik sekali. Oya, kenalkan - saya Erin dan ini suami saya Feo.”
“Fleur.”
Naia menyelinap ke antara kami, tidak mau kalah. “Astaga, Fleur, kamu cantik sekali,” sahutnya sambil mengedipkan matanya. Ia meledekku.
“Saya Naia,” katanya menyambung.
“Baju-baju kalian indah sekali. Saya rasa saya akan ambil baju ini. Sekali lagi thanks ya Fleur.”
Aku tersenyum dan mencuri pandang dari sela-sela bulu mataku yang panjang. Feo bukanlah pria mata keranjang seperti yang biasa kutemui. Erin adalah tipe wanita setia yang lembut. Sepertinya tidak ada yang kurang dari keluarga kecil mereka.Kami mulai berbasa-basi yang basi. Menghabiskan setidaknya lima belas menit untuk melacak kata-kata di tengah kekosongan yang mengagokkan dan lima belas menit lagi untuk meributkan gaun ulang tahun untuk remaja gendut bernama Aira.

Jam berlalu bagaikan merangkak. Sabtu biasanya hari panenan untuk butik kami tapi entah mengapa Sabtu ini berlangsung malas. Seperti anak muda yang leyeh-leyeh  di depan TV sembari bercumbu dengan semangkuk penuh keripik kentang dan sebotol soda yang bikin perut kembung.
“Besok pagi kita ke Malya yuk.” Suara Naia memecah kekosongan seperti denting botol yang bersentuhan dengan tiang rak baju.
“Oke,” jawabku singkat.
Aku sedang membaca sebuah buku membosankan, buku sejarah. Mataku menemukan sesuatu yang menarik.

Windsor Castle, 11 Pebruari 1840

Pamanku yang tercinta,
Surat ini saya layangkan dari tempat ini; saya merasa amat bahagia, seorang mahkluk yang amat berbahagia selama dunia terbentang. Sungguh tidak mungkin bagi siapapun juga untuk merasa lebih berbahagia atau sama bahagianya seperti yang saya rasakan ini. Albert adalah pujaanku, dan keramah-tamahan dan kasih sayangnya terhadapku, benar-benar menawan hati. Melihat matanya yang manis dan wajahnya yang gembira, telah cukup untuk membuat saya jatuh cinta padanya. Segala sesuatu yang dapat saya lakukan untuk membuat ia berbahagia, merupakan kenikmatan yang tak terhingga bagiku…
Kirim salam pada bibi Louise yang kucintai
Kemenakan yang tetap mencintaimu
Victoria[2]
Hmmm, bahkan orang dari zaman kuno pun bisa dengan mudahnya mencintai dan berbahagia, pikirku sinis.
Aku menopangkan tangan ke daguku dengan tatapan menerawang ke luar jendela. Di luar hujan mulai turun dan warna langit mulai memuram, seperti wajah gadis remaja yang sedang diputus cinta.
Aku merasa melankolis. Sebenarnya belum ada setitik ide pun yang mampir di kepalaku. Ide dari tujuan hidupku yang pendek ini. Apa hanya sekedar obsesi untuk melepaskan diri dari ilusi “dia” atau justru kekalahan yang tidak memuaskan ini yang membuatku gemas untuk pembuktian diri yang tak ada habisnya? Aku seperti kecoa yang terjebak di rumah seorang nenek tua rabun. Hidup bebas tanpa ancaman namun bosan setengah mati. Apa yang harus kuperbuat?

Aku selalu menyukai udara malam. Setiap hari, tepat pukul 9 malam, kami menutup butik dan Naia mengantarku pulang ke tempat kos dengan honda jazz ungu-nya.
Kadang-kadang Naia membawa mobilnya putar-putar tanpa tujuan, hanya demi secuil suasana malam yang romantis. Kontrasnya lampu kerlap-kerlip di tengah navy-nya malam. Aku selalu membuka jendela mobil dan meneguk dinginnya hawa malam yang semerbak. Kami selalu menikmati masa-masa ini. Terhenyak tanpa suara. Kadang-kadang aku yang berada di balik kemudi sementara ia duduk di sampingku memejamkan mata dalam mimpi bermesraan dengan kekasih gelapnya.
Aku mengendarai mobilnya dengan kecepatan minimum dan dengan sukses berhasil membuat mobil di belakangku menyusul dengan hati mangkel lalu berteriak “cewek sialan,” dari jendelanya yang terbuka separuh. Kami tidak menghiraukannya dan tetap berjalan seperti jompo yang sedang sakit rematik.
“Nai,” bisikku lirih, nyaris tertelan nyanyian angin malam.
Naia menggumam tidak jelas.
“Lo takut tua nggak sih?”
Naia diam dan memandang lurus ke depan, ke kepekatan yang menyambut ramah. “Gue takut tua dan kering seperti keripik tempe, digoreng sampai hangus tanpa cinta, Say. Kalo lo?”
Aku sudah memikirkan jawabannya, “Gue rasa gue nggak bakalan hidup sampai tua kali, Nai.”
“Kenapa?”
“Tuhan pasti udah terlanjur gerah ngeliat kelakuan gue yang brengsek.”
“Lo kan belum separah itu.”
Aku mengangkat bahu. “Gue kan hidup melanggar norma, Nai.”
“Jangan gitu dong, Say. Kalau lo ngomong begitu - lantas gue apa? Wanita hina yang pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan kotor kekasih gelapnya dan mengkhianati suami yang dinikahinya secara sukarela…bahkan sejak hari pernikahannya sendiri. Apaan itu?”
 “Apa bedanya, Nai? Gue juga pendosa.Gue tahu, di luar sana - banyak orang menganggap seks di luar nikah adalah hal wajar, semata-mata sebagai pemenuhan kebutuhan biologis. Enggak ada yang aneh. Tapi yang dicangkokkin ke dalam otak kita apaan? Seks di luar nikah itu dosa. Tapi yang bikin gue lebih merasa berdosa bukannya seks itu sendiri. Tapi karena gue merasa seks yang udah gue lakuin itu wajar. Bahkan, kalau bisa - gue kepengen jadi bintang film porno, Nai. Hidup di atas seutas tali tipis. Nggak mikirin apa-apa. Nggak mikirin Tuhan. Memuaskan nafsu jasmani seperti insting binatang liar. Sekarang coba bilang kalau gue enggak gila.”
“Gue enggak tahu definisi gila.”
Aku tertawa dan kedengarannya aneh, seperti orang lain yang sedang memaksakan diri untuk tertawa.
Aku dan Naia berpandangan seakan bisa membaca isi otak masing-masing seolah-olah batok kepala kami hanya dilapisi kaca tembus pandang.
“Di atas Tuhan ada apa, Nai?” tanyaku membuat kaget diriku sendiri.
Naia tercengang seperti sedang melihat setan cewek berambut panjang menyeramkan sedang ngintip dari belakang bahuku.
“Tuhan itu yang maha ada.”
“Setiap asal ada muasalnya kan?”
“Tuhan yang maha muasal.”
Aku menyandarkan kepalaku yang pening. Aku penasaran sekali, ingin bertemu Tuhan dan menanyakan banyak hal yang berseliweran di otakku seperti nyamuk yang tidak kenal lelah. Mungkin aku harus bermimpi. Dan Tuhan menjawab…



[1] Guru
[2] Surat yang ditulis oleh Ratu Inggris Victoria (1837) kepada pamannya Leopold

No comments:

Post a Comment