Sunday 25 May 2014

THE STORY OF LOVE PART 1-2

Hai, hari ini aku kepingin mengisahkan kisah yang sudah hampir satu dekade yang lalu kutuntaskan.
Aku harap kalian bisa menikmatinya.

 

The Story of Love

 My Crazy Imagination

Aku punya imajinasi. Khayalan gila. Kalian pasti tidak bisa menebaknya.

Bahkan sebelum melayang terbius ke dalam dunia mimpi, aku sudah merancang detailnya.
Aku ingin jadi pelacur tingkat tinggi. Bukan penjaja seks murahan yang nangkring di pinggir jalan dengan dandanan menor seronok. Bukan pula para cewek panggilan berkedok intelektual yang bisa dihubungi orang-orang tertentu dan menerima tawaran dari ukuran uang. 
Ada rumah besar. Mansion. Lengkap dengan kamar-kamar sekelas hotel bintang lima, butik, beauty center, fitness center, kolam renang dan spa.
Penyeleksian klien lewat ruangan tembus pandang. Aku benci om-om manula buncit flamboyan atau cowok berondong kerempeng culun jerawatan. Aku akan memilih klien yang dipamerkan seperti tersangka kriminal di kantor polisi. Dengan jari lentikku- kuacungkan telunjuk pada pilihanku. Mungkin “dia” bakal muncul dan kupakai.

Jadi, siapa yang melacurkan diri sebenarnya?


Aku telah menemukan kehidupan yang ingin kujalani. Hmm, sebenarnya tidak betul. Aku hanya sudah berhasil meloloskan diri dari borgol pembatas langkahku. Walau itu berarti mengorbankan kehidupan normatifku, I don’t care. Hidup hanya sekali. Dan singkat. Kedengaran klise tapi itu yang sebenarnya. Dan aku menyadarinya di usia yang agak terlambat, dua puluh lima tahun. Saat lenganku tidak berhasil menggandeng “dia” alias “the one”” (atau yang kuharap adalah “the one”), aku memutuskan untuk melepas harapan atas kehidupan normal. Dan aku tidak ingin jadi parasit lajang, meminjam ungkapan dari Ayu Utami. Menjadi lajang bukan berarti harus jadi parasit, kan? Aku ingin hidup sebebas burung dan lebih penting lagi, membebaskan diri dari beban duniawi. Semuanya toh hanyalah bullshit.
Maka dari itu aku pun menghadapi realitas yang membesarkanku.
“Ngapain sih kamu kos? Buang duit saja.” Mama mengerutkan dahi.
Aku tetap bergeming. Tinggal bersama orangtua walau tidak 24 jam lamanya tetap membuatku merasa terpenjara. Lahir dan batin. Bukan semata soal peraturan dalam rumah tapi lebih merupakan beban moral yang seharusnya diemban seorang anak. Aku tidak sanggup bercermin diriku yang kotor dan menjijikkan pada bola mata mereka yang keruh. Lebih baik aku pergi, menulikan telinga dari semua keberatan dan cercaan non-permanen ketimbang pelan-pelan jadi gila permanen.
“Dan kenapa kamu mau keluar kerja? Bukannya gaji kamu sudah lumayan? Terus kamu punya rencana apa?” cecar Papa.
Aku mengangkat bahu. Yang pasti, aku tidak mau menyiksa diriku lagi dengan melek jam 7 pagi untuk masuk kerja tepat jam 8 lalu berperan sebagai robot sampai jam 5 sore. Aku ingin hidup dengan waktu siesta sesukaku. Walau kalau dipikir-pikir, tanpa uang tidak bakal mungkin bisa siesta. Lingkaran setan yang menjengkelkan memang.
Aku lantas berjalan lunglai keluar rumah, menenteng dua buah koper penuh sesak. Aku tidak akan kembali.

Aku benci mandi. Tidak ada water heater di tempat kosku. Sudah hampir setahun ini aku tinggal di kos-kosan. Dengan kamar berukuran 3 x 3 meter aku merasa seperti pelarian yang hidup sekenanya. Malam dan pagi yang dingin di kota Bandung membuat penghuninya malas beranjak. Tua dalam rumah.
Bagiku mandi hanya sekedar formalitas. Kurang dari lima menit seharusnya cukup.
“Fleur, lo tuh mandi atau cuma mampir doang sih?”
Jeli, singkatan dari Jelita. Ia cewek paling rese yang pernah kutemui. Manis seperti permen, tapi rese - seperti permen jeli yang sering nyelip ke sela-sela gigi dan bikin gigi bolong.
“Penasaran? Mau mandi bareng?”
Ia melotot - seperti pesakitan kelenjar thyroid yang hyper.
Aku bersiul, berjalan melewatinya. Ia membuat tanda miring di dahinya. Sinting, itu maksudnya. Aku memang sinting.

Aku suka bermimpi. Aku tidur dengan satu tujuan, berkunjung ke dunia paralel.
Setiap kali bermimpi, kurasakan keanehan yang hangat. Aku merindukan tempat yang sama. Entah itu rumah lusuh sempit atau kastil indah misterius. Atau aku terlalu lama berdandan dan datang terlambat. Datang pada saat acaranya sudah bubar atau bahkan terbangun sebelum sempat menyelesaikan dandananku. Aku yang berjalan menyusuri jalanan asing dengan langkah berat. Tersesat dan akhirnya tidak bisa mencapai tujuan.
Tapi yang paling sering kuimpikan adalah rumah besar aneh. Rumah yang selalu mempunyai kamar mandi mewah dan luas.Berhari-hari aku memikirkan arti mimpiku. Dan kini aku tahu. Aku terlalu kotor. Dalam arti sebenarnya maupun kiasan. Aku yang kelewat malas mandi. Juga hidup seenak bujel. Aku harus mandi. Di bathtub lapang dan disesaki gelembung sabun. Menyikat tubuhku sampai tidak ada secuil pun kotoran yang selamat.
Mungkin empat tahun lagi, pikirku. When I hit the big Thirty…
Saat ini hidupku dilapisi debu. Debu yang datang lagi dan lagi dan lagi.  Mandi just wasting my time.

Beautiful Jacinta

Ia cewek berusia 24 tahun. Ayahnya keturunan Tionghoa dan ibunya keturunan India-Tionghoa. Matanya belo, hidung mancung, kulit putih, dan rambut ikal sepinggang seperti putri duyung. Dahinya yang sempit ditempeli permata berbentuk tetesan air mata persis di atas tulang hidungnya. Embel-embel berbau Hindi. Rambutnya dibaluri henna merah menyala seperti anak jalanan yang biasa main layangan di lapang kosong sampai gosong. Tubuhnya langsing dan tinggi.  Ia mengenakan shari warna merah menyala. Kami semua berwarna merah. Merah pembawa keberuntungan. Bahkan pakaian dalamku pun berwarna merah. Ia adalah sepupuku.
Terakhir kali kami berjumpa adalah pada saat sinchia[1] bulan Februari silam, di rumah Popoh[2].
“Hai, Cie[3]. Tambah cantik aja.”
“Kamu tambah seksi.”
“Ayo kita ngobrol.”
Ia menggandengku ke pojok yang sepi. “Aura Cie kelihatan kurang bagus. Cie nggak sakit kan?”
Aku menggeleng.
Jacinta kelihatan prihatin. “Mau diramal soal jodoh?”
Ia percaya punya indra ke enam. Ia bisa meramal masa depan dan kemudian merecokiku dengan segala tetek-bengek petuah dan peringatan.
“Kenapa Cie harus selalu membuktikan diri Cie sendiri?”
Aku mengernyit.
“Cowok yang udah nolak Cie itu memang bukan jodoh Cie, kenapa maksa?”
Aku terperangah sebelum mampu menelan ludah dan menetaskan kata-kata, “O ya?”
“Iya. Di mata Cie, enggak ada pria yang pas. Selalu ada aja yang kurang. Sadar nggak sih, Cie hidup dalam standar ilusi. Pernah kepikir nggak kalau “dia” nggak seperti yang Cie bayangin selama ini?”
Aku termangu dan mendesah.“Itu yang bikin kita penasaran kan?”
Jacinta tertawa manis. “Tapi nggak sehat lho, Cie. Cie nggak bakal bisa merasakan romantisme selama ada ilusi yang melebihi segalanya dalam benak Cie.”
“Katakan apa itu romantisme.”
“Saat seorang pria berkata I love you, dengan setangkai bunga mawar atau sekotak coklat, berlutut di hadapanmu. Saat ia membacakan sebuah puisi, membukakan pintu, memasakkan sesuatu, menggenggam jemarimu lembut, mendekap dirimu erat sampai pagi di depan layar tv. Saat ia mengecupmu dengan sepenuh hati sampai dirimu seolah terhanyut…”
Mata Jacinta menerawang jauh, bercahaya bagai sinar bulan di temaramnya malam.
“Walaupun itu bukan datang dari dalam hatinya juga nggak apa-apa?” tanyaku, tak mampu mencegah sarkasme sinis yang sudah mendarah daging.
“Tentu saja apa-apa. Semuanya nggak berarti kalau ternyata palsu. Cie, jangan bersikap skeptis seperti itu dong. Di zaman seperti ini, masih ada lho cinta sejati.”
Aku tersenyum, ikut-ikutan berharap semu. “Akan kuberitahu kalau sudah nemu.”
Jacinta mengangguk, tidak puas.

Minggu kemarin Popoh meninggal. Beliau terkena kanker rahim. Stadium akhir.
Wajahnya tirus dengan geligi ompong membuat pipinya kempot. Seperti buah apel yang sudah mengkerut. Suster memasangkan gigi palsu emasnya. Mukanya gemuk kembali, putih dan manis. Pesis seperti oma-oma Belanda dengan freckles coklat memenuhi pipinya dan rambut putih ikal menipis. Perutnya membengkak dipenuhi cairan mematikan.
Jacinta memelukku. “Cie, makin cantik aja,” bisiknya. Mata besarnya berair.
“Kamu makin seksi aja.”
“Cie, mau diramal soal jodoh?”
Aku mengangguk. Kami berjalan menuju pojok yang sepi. Aku merasakan gelombang déjà vu yang kuat. Seperti mimpiku malam kemarin, Popoh tertawa di ruang tamu bersama para ii-ichong[4], kiu-kiu-kiumeh[5], kukuh-kuchong[6] dan suksuk-sukmeh[7].  Gigi emasnya berkilauan seperti obor di gua gelap. Mata Cina-Belandanya sipit dengan pupil coklat. Perut gendutnya menyembul seperti sedang menyekap janin berusia 8 bulan.
“Cie harus menghilangkan obsesi Cie, melupakan kegagalan Cie. Ditolak seorang cowok bukan berarti Cie nggak menarik. Sebaliknya, cowok itulah yang goblok. Cie harus membiarkan romantisme masuk dalam kehidupan Cie.”
Matanya melotot, warna putihnya pekat bagaikan susu. Hitam di matanya mengecil, membuatku menggigil. Seperti melihat hantu berambut panjang tanpa pupil.
“Iya.”
“Akan ada seorang pria matang terpelajar masuk ke dalam kehidupan Cie. Dia adalah soulmate Cie. Jangan lewatkan. Jangan rusak dengan idealisme yang berlebihan. Oke?” Ia mengedipkan mata.
Aku mengangguk walau sama sekali meragukan kebenaran ramalan sepupuku itu.

Aku adalah warga Indonesia keturunan Tionghoa. Mataku, kebetulan, tidak sipit namun lipatan mataku memang bandel, sering ngumpet. Kulitku seputih susu. Tidak ada jejak yang melunturkan identitasku sebagai amoi berponi kependekan.
Aku benci disebut cici. Aku menyukai panggilan teteh dan mbak. Itu adalah sisa-sisa cengkraman ORBA yang menyisihkan para keturunan Cina seperti tumpukan sampah yang kian menggunung. Seperti kotoran mata yang tidak mungkin dienyahkan. Selalu muncul dan muncul lagi. Kriminal ekonomi kelas kakap. Walaupun sejak MG (Meteor Garden) booming dan Roger Danuarta jadi idola baru, jadi Cina not so bad anymore.
Jacinta tidak pernah dicurigai berdarah Cina. Ia bangga habis-habisan dengan darah Indianya. Walau sebagian kecantikannya adalah warisan dari darah Cina yang mendominasi ¾ tubuhnya.

Popoh telah meninggalkan dunia ini. Beberapa jam sebelumnya ia mengigau melihat tangga. Tangga menuju langit. Tidak ada pangeran kegelapan yang datang menjemput. Hanya terang menyilaukan. Popoh telah terbebas dari penyakit yang menggerogoti tubuh rentanya, sama seperti ulat yang menggigiti apel diam-diam hingga menciptakan terowongan yang dalam.
Selamat jalan, Popoh.  Zai jian


[1] Perayaan tahun baru Imlek/ tahun baru Cina
[2] Nenek
[3] Cie Cie/Cici = kakak perempuan
[4] Ii = bibi , Ichong = suami bibi (dari ibu)
[5] Kiu-kiu = paman, Kiumeh = istri paman (dari ibu)

[6] Kukuh = bibi, Kuchong = suami bibi (dari ayah)
[7] Suksuk = paman, Sukmeh = istri paman (dari ayah)

1 comment: