Hai, hari ini aku kepingin mengisahkan kisah yang sudah hampir satu dekade yang lalu kutuntaskan.
Aku harap kalian bisa menikmatinya.
The Story of Love
My Crazy Imagination
Aku punya imajinasi. Khayalan gila. Kalian pasti tidak bisa menebaknya.
Bahkan
sebelum melayang terbius ke dalam dunia mimpi, aku sudah merancang detailnya.
Aku
ingin jadi pelacur tingkat tinggi. Bukan penjaja seks murahan yang nangkring di
pinggir jalan dengan dandanan menor seronok. Bukan pula para cewek panggilan
berkedok intelektual yang bisa dihubungi orang-orang tertentu dan menerima
tawaran dari ukuran uang.
Ada rumah besar. Mansion. Lengkap dengan kamar-kamar
sekelas hotel bintang lima, butik, beauty center, fitness center, kolam renang dan
spa.
Penyeleksian klien lewat ruangan tembus pandang. Aku
benci om-om manula buncit flamboyan atau cowok berondong kerempeng culun
jerawatan. Aku akan memilih klien yang dipamerkan seperti tersangka kriminal di
kantor polisi. Dengan jari lentikku- kuacungkan telunjuk pada pilihanku. Mungkin
“dia” bakal muncul dan kupakai.
Jadi, siapa yang melacurkan diri sebenarnya?
Aku telah menemukan kehidupan yang ingin kujalani.
Hmm, sebenarnya tidak betul. Aku hanya sudah berhasil meloloskan diri dari
borgol pembatas langkahku. Walau itu berarti mengorbankan kehidupan normatifku,
I don’t care. Hidup hanya sekali. Dan
singkat. Kedengaran klise tapi itu yang sebenarnya. Dan aku menyadarinya di
usia yang agak terlambat, dua puluh lima
tahun. Saat lenganku tidak berhasil menggandeng “dia” alias “the “one””
(atau yang kuharap adalah “the one”),
aku memutuskan untuk melepas harapan atas kehidupan normal. Dan aku tidak ingin
jadi parasit lajang, meminjam ungkapan dari Ayu Utami. Menjadi lajang bukan
berarti harus jadi parasit, kan?
Aku ingin hidup sebebas burung dan lebih penting lagi, membebaskan diri dari
beban duniawi. Semuanya toh hanyalah bullshit.
Maka dari itu aku pun menghadapi realitas yang
membesarkanku.
“Ngapain sih kamu kos? Buang duit saja.” Mama
mengerutkan dahi.
Aku tetap bergeming. Tinggal bersama orangtua walau
tidak 24 jam lamanya tetap membuatku merasa terpenjara. Lahir dan batin. Bukan
semata soal peraturan dalam rumah tapi lebih merupakan beban moral yang
seharusnya diemban seorang anak. Aku tidak sanggup bercermin diriku yang kotor
dan menjijikkan pada bola mata mereka yang keruh. Lebih baik aku pergi,
menulikan telinga dari semua keberatan dan cercaan non-permanen ketimbang
pelan-pelan jadi gila permanen.
“Dan kenapa kamu mau keluar kerja? Bukannya gaji
kamu sudah lumayan? Terus kamu punya rencana apa?” cecar Papa.
Aku mengangkat bahu. Yang pasti, aku tidak mau
menyiksa diriku lagi dengan melek jam 7 pagi untuk masuk kerja tepat jam 8 lalu
berperan sebagai robot sampai jam 5 sore. Aku ingin hidup dengan waktu siesta sesukaku. Walau kalau
dipikir-pikir, tanpa uang tidak bakal mungkin bisa siesta. Lingkaran setan yang menjengkelkan memang.
Aku lantas berjalan lunglai keluar rumah, menenteng
dua buah koper penuh sesak. Aku tidak akan kembali.
Aku benci mandi. Tidak ada water heater di tempat kosku. Sudah hampir setahun ini aku tinggal
di kos-kosan. Dengan kamar berukuran 3 x 3 meter aku merasa seperti pelarian
yang hidup sekenanya. Malam dan pagi yang dingin di kota
Bandung membuat
penghuninya malas beranjak. Tua dalam rumah.
Bagiku mandi hanya sekedar formalitas. Kurang dari lima menit seharusnya
cukup.
“Fleur, lo tuh mandi atau cuma mampir doang sih?”
Jeli, singkatan dari Jelita. Ia cewek paling rese
yang pernah kutemui. Manis seperti permen, tapi rese - seperti permen jeli yang
sering nyelip ke sela-sela gigi dan bikin gigi bolong.
“Penasaran? Mau mandi bareng?”
Ia melotot - seperti pesakitan kelenjar thyroid yang hyper.
Aku bersiul, berjalan melewatinya. Ia membuat tanda
miring di dahinya. Sinting, itu maksudnya. Aku memang sinting.
Aku suka bermimpi. Aku tidur dengan satu tujuan,
berkunjung ke dunia paralel.
Setiap kali bermimpi, kurasakan keanehan yang
hangat. Aku merindukan tempat yang sama. Entah itu rumah lusuh sempit atau
kastil indah misterius. Atau aku terlalu lama berdandan dan datang terlambat.
Datang pada saat acaranya sudah bubar atau bahkan terbangun sebelum sempat
menyelesaikan dandananku. Aku yang berjalan menyusuri jalanan asing dengan
langkah berat. Tersesat dan akhirnya tidak bisa mencapai tujuan.
Tapi yang paling sering kuimpikan adalah rumah besar
aneh. Rumah yang selalu mempunyai kamar mandi mewah dan luas.Berhari-hari aku
memikirkan arti mimpiku. Dan kini aku tahu. Aku terlalu kotor. Dalam arti
sebenarnya maupun kiasan. Aku yang kelewat malas mandi. Juga hidup seenak
bujel. Aku harus mandi. Di bathtub
lapang dan disesaki gelembung sabun. Menyikat tubuhku sampai tidak ada secuil
pun kotoran yang selamat.
Mungkin empat tahun lagi, pikirku. When I hit the big Thirty…
Saat ini hidupku dilapisi debu. Debu yang datang
lagi dan lagi dan lagi. Mandi just wasting my time.
Beautiful Jacinta
Ia cewek berusia 24 tahun. Ayahnya keturunan
Tionghoa dan ibunya keturunan India-Tionghoa. Matanya belo, hidung mancung,
kulit putih, dan rambut ikal sepinggang seperti putri duyung. Dahinya yang
sempit ditempeli permata berbentuk tetesan air mata persis di atas tulang
hidungnya. Embel-embel berbau Hindi. Rambutnya dibaluri henna merah menyala
seperti anak jalanan yang biasa main layangan di lapang kosong sampai gosong.
Tubuhnya langsing dan tinggi. Ia
mengenakan shari warna merah menyala. Kami semua berwarna merah. Merah pembawa
keberuntungan. Bahkan pakaian dalamku pun berwarna merah. Ia adalah sepupuku.
“Hai, Cie[3].
Tambah cantik aja.”
“Kamu tambah seksi.”
“Ayo kita ngobrol.”
Ia menggandengku ke pojok yang sepi. “Aura Cie
kelihatan kurang bagus. Cie nggak sakit kan?”
Aku menggeleng.
Jacinta kelihatan prihatin. “Mau diramal soal
jodoh?”
Ia percaya punya indra ke enam. Ia bisa meramal
masa depan dan kemudian merecokiku dengan segala tetek-bengek petuah dan
peringatan.
“Kenapa Cie harus selalu membuktikan diri Cie
sendiri?”
Aku mengernyit.
“Cowok yang udah nolak Cie itu memang bukan jodoh
Cie, kenapa maksa?”
Aku terperangah sebelum mampu menelan ludah dan
menetaskan kata-kata, “O ya?”
“Iya. Di mata Cie,
enggak ada pria yang pas. Selalu ada aja yang kurang. Sadar nggak sih, Cie
hidup dalam standar ilusi. Pernah kepikir nggak kalau “dia” nggak seperti yang Cie bayangin selama ini?”
Aku termangu dan mendesah.“Itu yang bikin kita
penasaran kan?”
Jacinta tertawa manis. “Tapi nggak sehat lho, Cie.
Cie nggak bakal bisa merasakan romantisme selama ada ilusi yang melebihi
segalanya dalam benak Cie.”
“Katakan apa itu romantisme.”
“Saat seorang pria berkata I love you, dengan setangkai bunga mawar atau sekotak coklat,
berlutut di hadapanmu. Saat ia membacakan sebuah puisi, membukakan pintu,
memasakkan sesuatu, menggenggam jemarimu lembut, mendekap dirimu erat sampai
pagi di depan layar tv. Saat ia mengecupmu dengan sepenuh hati sampai dirimu
seolah terhanyut…”
Mata
Jacinta menerawang jauh, bercahaya bagai sinar bulan di temaramnya malam.
“Walaupun itu bukan datang dari dalam hatinya juga nggak apa-apa?” tanyaku, tak mampu mencegah sarkasme sinis yang sudah mendarah
daging.
“Tentu saja apa-apa. Semuanya nggak berarti kalau
ternyata palsu. Cie, jangan bersikap skeptis
seperti itu dong. Di zaman seperti ini, masih ada lho cinta sejati.”
Aku tersenyum, ikut-ikutan berharap semu. “Akan
kuberitahu kalau sudah nemu.”
Jacinta mengangguk, tidak puas.
Minggu kemarin Popoh
meninggal. Beliau terkena kanker rahim. Stadium akhir.
Wajahnya tirus dengan geligi ompong membuat pipinya
kempot. Seperti buah apel yang sudah mengkerut. Suster memasangkan gigi palsu
emasnya. Mukanya gemuk kembali, putih dan manis. Pesis seperti oma-oma Belanda
dengan freckles coklat memenuhi
pipinya dan rambut putih ikal menipis. Perutnya membengkak dipenuhi cairan
mematikan.
Jacinta memelukku. “Cie, makin cantik aja,” bisiknya. Mata besarnya berair.
“Kamu makin seksi aja.”
“Cie, mau diramal soal jodoh?”
Aku mengangguk. Kami berjalan menuju pojok yang
sepi. Aku merasakan gelombang déjà vu
yang kuat. Seperti mimpiku malam kemarin, Popoh
tertawa di ruang tamu bersama para ii-ichong[4],
kiu-kiu-kiumeh[5],
kukuh-kuchong[6]
dan suksuk-sukmeh[7]. Gigi emasnya berkilauan seperti obor di gua
gelap. Mata Cina-Belandanya sipit dengan pupil coklat. Perut gendutnya
menyembul seperti sedang menyekap janin berusia 8 bulan.
“Cie harus
menghilangkan obsesi Cie, melupakan kegagalan Cie. Ditolak seorang cowok bukan
berarti Cie nggak menarik. Sebaliknya, cowok itulah yang goblok. Cie harus
membiarkan romantisme masuk dalam kehidupan Cie.”
Matanya melotot, warna putihnya pekat bagaikan susu.
Hitam di matanya mengecil, membuatku menggigil. Seperti melihat hantu berambut
panjang tanpa pupil.
“Iya.”
“Akan ada seorang pria matang terpelajar masuk ke
dalam kehidupan Cie. Dia adalah soulmate Cie. Jangan lewatkan. Jangan
rusak dengan idealisme yang berlebihan. Oke?” Ia mengedipkan mata.
Aku mengangguk walau sama sekali meragukan kebenaran
ramalan sepupuku itu.
Aku adalah warga Indonesia keturunan Tionghoa.
Mataku, kebetulan, tidak sipit namun lipatan mataku memang bandel, sering
ngumpet. Kulitku seputih susu. Tidak ada jejak yang melunturkan identitasku
sebagai amoi berponi kependekan.
Aku benci disebut cici. Aku menyukai panggilan teteh dan mbak. Itu adalah sisa-sisa
cengkraman ORBA yang menyisihkan para keturunan Cina seperti tumpukan sampah
yang kian menggunung. Seperti kotoran mata yang tidak mungkin dienyahkan.
Selalu muncul dan muncul lagi. Kriminal ekonomi kelas kakap. Walaupun sejak MG
(Meteor Garden) booming dan Roger Danuarta jadi idola baru, jadi Cina not so bad anymore.
Jacinta tidak pernah dicurigai berdarah Cina. Ia
bangga habis-habisan dengan darah Indianya. Walau sebagian kecantikannya adalah
warisan dari darah Cina yang mendominasi ¾ tubuhnya.
Popoh telah meninggalkan dunia
ini. Beberapa jam sebelumnya ia mengigau melihat tangga. Tangga menuju langit.
Tidak ada pangeran kegelapan yang datang menjemput. Hanya terang menyilaukan. Popoh telah terbebas dari penyakit yang
menggerogoti tubuh rentanya, sama seperti ulat yang menggigiti apel diam-diam
hingga menciptakan terowongan yang dalam.
Selamat jalan, Popoh. Zai jian…
Keren!
ReplyDelete