The Virgin Me
“Fucking idiot. Kalian bisa kerja nggak
sih? Cuci piring aja nggak becus. Dengar, upah kalian akan dipotong untuk
mengganti pecah belah ini. Get it???”
Si bule tolol menyalak seperti anjing doberman tengah memergoki maling yang
menerobos masuk tanpa diundang.
Aku menunduk, kelingkingku bertemu dengan
kelingkingnya. Tak lama kemudian bule itu pergi sembari mendumel-dumel. Aku
mengangkat wajah, menoleh padanya. Ia tertawa, mata sipitnya bagaikan bulan
sabit.
“Mari kita beresin,” ajaknya.
Kami membenahi bangkai piring yang berhamburan di
lantai. Berhati-hati dengan sabitan tajamnya. Menyipitkan mata mencari serpihan
mikro yang menyaru menjadi lantai berwarna sama.
Jariku terkena ujung runcingnya. Mengeluarkan tetes
merah. Cairan kehidupan. Malamnya kami bercinta. Dan aku kehilangan
keperawananku.
Aku berbohong pada kukuhku.
“Fleur nginep di rumah Hana ya, Kuh.”
“Baik. Tapi kamu kan nggak bawa baju ganti, Fleur.”
“Pinjem yang punyanya Hana kan bisa, Kuh. Hana sedang patah hati, baru diputusin pacarnya.”
“Oh.”
“Bye, Kuh.”
“Bye. Take care, dear.”
Hana, teman instanku yang imigran China mainland berubah menjadi sosok pria
bernama Tae Jhi Woon. Pria berdarah Korea
yang belum pernah menginjak tanah Korea seumur hidupnya. Seumur 25
tahun. Ia mengajakku bercinta.
Dia pun melucuti bajuku. Aku memejamkan mata. Di
pelupuk mataku, menari wajah dan mata yang sangat kutunggu. Menantikan saat ini
seperti yang kuimpikan. Menyiapkan diriku demi sepotong pengalaman magis. Wajah
itu kepunyaan “dia”.Tangan Jhi Woon menelusuri tubuhku seperti mobil
malas-malasan menyusuri jalan. Meraba setiap mili kulit. Saat akhirnya dia
menguasai diriku - aku merasa kesemutan. Tangan dan kakiku dingin.
But that’s all. Aku tidak merasakan apa-apa
lagi selain itu. Semuanya hambar seperti makan tiramisu tanpa susu.
Aku lulus kuliah S1 pada usia 23 ½ tahun. Dan
bekerja sebagai finance staff di
sebuah perusahaan sepatu selama setahun. Setelah itu memutuskan untuk berlibur
selama ½ tahun bersama kukuh-ku yang perawan tua di Monterey, CA. Lalu secara
spontan bekerja paruh-waktu illegal di
warung fast-food kumuh. Di sana aku mengenal Tae Jhi
Woon dan kehilangan kesucianku dalam hitungan menit. Kami seperti kerasukan
setan. Hidup di dunia berbeda definisi. Seolah aku adalah dewi seks yang eksis hanya untuk satu tujuan. Bercinta
puluhan kali tanpa mengenal waktu maupun rasa bersalah. Hanya saja dengan pria
yang sama. Setidaknya sampai detik ini.
Aku menonton Sweet
November yang dibintangi Keanu Reeves dan Charlize Theron belasan kali.
Bukanlah sekedar kebetulan dua bintang Hollywood
favoritku bermain bersama. Itu adalah takdir. Aku mengingat setiap detailnya.
Akhir yang tidak memuaskan, seperti makan kue ulang tahun. Hanya separuh, tidak
tuntas karena giung[1].
Aku ingin hidup seperti Sara. Bebas dan cuek (sans kanker, tentunya). Itu alasanku
menginginkan dia bertahan dengan kanker yang menjajah tiap provinsi dalam
tubuhnya.
Aku tidak suka cowok miskin. Itu alasan kenapa aku
ingin Nelson tetap kaya walau kehilangan karirnya dan bukan pewaris jutawan.
Baru saat itu aku terbangun dan menyadari betapa tidak nyatanya kehidupan di
balik kaca berwarna. Uang selalu melekat dalam kenikmatan setiap jiwa,
terkekang maupun yang bebas merdeka.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Sara akan mati,
dikubur dalam keadaan kurus kering sisa hidangan lezat sel-sel ganas. Bagaimana
dengan Nelson?
Aku berpisah dengan Jhi Woon saat merasakan muak.
Muak seperti budak seks yang dikurung dan dipakai pada saat nafsu memuncak.
Kami sudah mencoba semua posisi. Jhi Woon menunjukkan perangainya yang asli.
Kasar dan lapar seks. Ia tidak segan-segan memukul dan mencekikku untuk
mencapai klimaks. Dan seperti pesakitan - aku menikmati momen-momen itu.
Tubuhku memanggilnya dan melekat seperti magnet
pajangan di pintu lemari es. Gatal-gatal ingin di sentuh. Aku memang wanita
jalang. Dan itu membuatku menggigil karena perasaan tak puas yang menderaku.
Sampai saat aku memutuskan untuk pulang ke Indonesia - aku bertekad tidak akan
bercinta lagi.
Aku punya kekurangan. Aku tidak pernah jatuh Cinta.
Cinta tidak pernah terdaftar dalam kamusku. Sekedar fling atau teman flirting tentu
saja bejibun. Tapi bukan berlabel Cinta. Sampai pada suatu momen, detik
membeku. Mata “dia” singgah ke ruang
berdebu di hatiku. Dan sejak saat itu love
was my middle name.
Namun setelah beberapa saat terpuruk dalam ketololan
parah semenjak “dia” menolakku hanya
setelah tiga bulan kencan virtual kami, aku
memutuskan untuk hidup dalam penyangkalan diri sendiri. Sebenarnya, dari dulu
aku adalah gadis yang punya persediaan rasa pe-de yang lumayan banyak. Mungkin
karena cermin tak pernah berbohong. Aku adalah si cantik yang bandel. Tapi,
kali ini beda. Egoku terpuruk. Hatiku terluka dan menolak untuk percaya bahwa
wajah yang sedemikian cantik tidak mampu memenangkan Cinta. Cinta pertama yang
datang terlambat.
Maka, aku membuat keputusan untuk hidup dalam dunia
imaji. Memainkan peran as a Goddess. Sejak itu, yang kulihat dalam cermin
bukan sekedar mahkluk cantik namun sesosok sensasional. Aku juga korban mode.
Kain yang membalut tubuh harusnya tidak masalah mengingat tubuh dan wajahku
yang menakjubkan. Karena itu pula aku bukan pengandrung merk fanatik. Aku
pernah belanja di CiMol[2].
Belanja pakaian yang tidak lagi virgin
dan yang kupilih dengan cermat meningkatkan adrenalin
dan memberiku euforia. Standar penampilanku adalah rok jins hipster menggantung sempurna di
pinggulku yang tajam. Kemeja ketat putih menerawang dengan bra hitam. Jaket kulit hitam imitasi dengan kerah dan ujung tangan
dari faux fur - keglamoran yang
palsu. Bot hitam selutut murahan. Aku akan melenggang bak supermodel di cat walk dengan kacamata hitam
menyembunyikan the real inside me. Aku
akan menikmati tatapan X-ray para
cowok mesum menjelajahi tubuhku, menembus pakaian. Dadaku membusung dan perutku
rata. Tungkaiku panjang. I have to prove that I am really a Goddess
and even he has to admit it! Dan semenjak saat pemungkiran diri itu
pulalah, dunia seolah mengekoriku. Seolah aku matahari dan para cowok adalah
planet-planet yang mengitariku. Aku adalah The
It Girl. Kecuali…baginya.
Aku ditawari menjadi model beberapa kali. Aku
sebenarnya tidak ingin menolak namun mereka menawariku foto kalender telanjang.
Aku lebih baik jadi bintang film porno profesional. Aku memang hidup di dunia
lumpur.
The Story of Naia
Namanya seunik pribadinya. Ia adalah cewek modern
fans fanatik fengshui & Oprah
Winfrey show.
Setelah melepas posisi finance staff di sebuah pabrik sepatu, cikal-bakal pertemuanku
dengan “dia”, dan mengantungi buku tabungan dengan sederet
angka tidak memuaskan, aku pun memutuskan untuk bekerja di butik milik Naia.
Tentu saja, usai ½ tahun berenang dalam kehidupan bejat.
Ia menaruh pajangan kodok berkaki tiga di bawah meja
kasir. Akan merayu uang datang. Itu kata fengshui. Nyonya muda kaya kurang
kerjaan. Dibekali butik supaya tidak merecoki tuan yang sibuk berbinis sampai
dini hari. Dengan kemeja beraroma alkohol dan wanita. Ada bekas lipstik di ujung kerahnya. Tubuhnya
panas dan loyo. Itu karena sudah puas berpesta dengan dua-tiga cewek yang
mengerumuninya seperti semut merah menyantap permen yang ditinggalkan di meja -
dengan bungkus terbuka.
Kami adalah teman sejiwa. She is my other half. Sahabat dari SMA. Ia membiarkan aku bekerja di
butiknya karena aku ingin siesta tanpa
harus luntang lantung tanpa juntrungan. Ia akan mencurahkan seluruh isi hatinya
padaku.
Dandanannya menor. Eyeliner ketebalan, perona pipi kemerahan dan lipstik pink manyala. Ia seperti manekin di
etalase toko. Selalu gaya
dan chic.
“Lo harus betulin gigi lo, Fleur.”
“Kenapa?”
“Gigi lo kan
jarang-jarang. Lo nggak bakalan bisa kaya. Percaya deh, rejeki bakalan gampang
mengalir keluar.”
Aku tertawa tapi wajahnya tetap serius.
“Serius, Say. Elo enggak boleh ngeremehin hal-hal
semacam ini. Sepele kelihatannya tapi akan membawa perubahan besar. Trust me.”
Naia pacaran dengan David enam tahun lamanya dan
langsung menikah setelah lulus kuliah. Sejak hari pernikahannya, Naia terbangun
dalam kenyataan bahwa dia sudah tidak mencintai mempelai prianya. But
it’s way too late. Ia memaksa senyum palsu di balik riasan sepucat boneka
lilin dan memberikan the wedding kiss dengan
bibir terkunci rapat.
Pada malam pertama ia terbaring kaku seperti mayat,
seperti ikan beku. Dingin bagai boneka rusak belaka. Kenyataannya ia jatuh
cinta pada sahabat suaminya. Pria sederhana yang membantu mengangkat slayer-nya. Handycam menangkap kesedihan di sinar matanya yang redup. Hanya
orang berdarah dingin yang tidak bisa menyadarinya. Sayangnya semua orang
berdarah dingin, haus perhatian dan cinta diri sendiri.
Naia dengan terisak-isak menceritakan
kefrustasiannya.“Setiap malam gue seperti diperkosa, Fleur. David hanya tahan
dua menit saja. Bayangin, dua menit. Apa itu orgasme? Gue enggak kenal. Siapa
dia? Orang mana? Bisa lo kenalin gue, Fleur?” tanyanya pilu.
“Jon mengirimiku SMS, begini bunyinya. Kala senja merangkak memasuki kejamnya
malam. Kala malam makin membutakan pandanganku. Di hadapanku hanya ada kamu.
Putih bercahaya bagaikan bulan di hatiku yang temaram. Kapan kita bersatu?
Walau sebenarnya jiwa kita tidak pernah sedetik pun terpisah, wo hen ai ni…”
Aku terpana.
Aku memergoki cicak bersetubuh pagi ini. Yang jantan
kehitaman seperti orang Afrika. Yang betina keputihan seperti penderita albino. Mereka menyusuri dinding, rekat
bagaikan satu ekor cicak berbuntut ganda. Sang betina terus merayap, seolah
ingin menghentakkan si jantan sampai jatuh. Aku memalingkan wajah. Bagaimana
dengan Naia? Terbayang di depan mataku badannya yang remuk ditindihi tubuh
kekar David. Dua menit bagaikan berjam-jam. Jarum di jam dinding bergerak
bagaikan di slow motion-kan.
“Gue kepingin mati, Fleur,” bisik Naia pada suatu
sore.
Aku mengangguk, berlagak mengerti apa maksudnya.
“Jadi lo setuju kalau mati itu jalan keluarnya?”
tanyanya heran.
Aku menyita menit demi menit untuk menelurkan
kata-kata yang tepat. “Gue kan
nggak bilang begitu. Dunia memang brengsek dan sialan. Tapi kita masih muda. What the hell with life, it sucks. Dan
gue nggak mau kalah. Banyak hal yang belum gue cicipi…”
“Maksud lo, “dia”?”
Aku mengangkat sebelah alis. “Melebihi “dia”, Nai. Lo sadar? Gue belum pernah mencintai dan dicintai.
Selalu one way love.”
“Mungkin karena hati lo keburu ketutup ilusi dan
obsesi.”
“Gue cuma kepingin tahu, kenapa dia nolak gue.
Bayangin, Nai, satu-satunya cowok yang memperkenalkan gue sama Cinta nolak
gue!”
“Lo kan
tau kekurangan lo di mata dia, Say.”
“Which part?”
Naia mengangkat bahu.“Do you really need to ask? Money, Honey!
And please, get over him already, Dear! Like the old saying, there are plenty
of fishes in the sea. He’s just not worth for you. You are a Goddess, you
deserve much better person than him.”
Aku terdiam. Kehabisan kata-kata.
Out of the blue, “dia” called quit dari
kencan virtual kami dab lari
terbirit-birit seperti dikejar anjing gila begitu kami punya kesempatan
berduaan.
“Still…apa emang duit bisa ngalahin
Cinta, Nai? Demi Tuhan, cewek itu jelek, Nai. Jelek dengan kapital J! Dia sama
sekali bukan tandingan gue. In fact,
every men love me…”
“Lo memang sombong, Fleur.” Naia terkekeh,
menggeleng takjub.
Aku tertunduk lunglai. Tidak ada gunanya semua cowok
memujaku. Every men love me, why didn’t
he? Do Money and Power above D Love? Or it wasn’t Love at all for him? Maybe
only my beauty that captured his heart and that beauty had lost the battle
against money. Itu pertanyaan yang tak pernah kutemukan jawabannya.
Dan aku tidak tahu sampai kapan kubisa bertahan
hidup tanpa cinta.
No comments:
Post a Comment