Sunday 25 May 2014

THE STORY OF LOVE PART 3-4

The Virgin Me

“Fucking idiot. Kalian bisa kerja nggak sih? Cuci piring aja nggak becus. Dengar, upah kalian akan dipotong untuk mengganti pecah belah ini. Get it???” Si bule tolol menyalak seperti anjing doberman tengah memergoki maling yang menerobos masuk tanpa diundang.
Aku menunduk, kelingkingku bertemu dengan kelingkingnya. Tak lama kemudian bule itu pergi sembari mendumel-dumel. Aku mengangkat wajah, menoleh padanya. Ia tertawa, mata sipitnya bagaikan bulan sabit.
“Mari kita beresin,” ajaknya.  
Kami membenahi bangkai piring yang berhamburan di lantai. Berhati-hati dengan sabitan tajamnya. Menyipitkan mata mencari serpihan mikro yang menyaru menjadi lantai berwarna sama.
Jariku terkena ujung runcingnya. Mengeluarkan tetes merah. Cairan kehidupan. Malamnya kami bercinta. Dan aku kehilangan keperawananku.
Aku berbohong pada kukuhku.
“Fleur nginep di rumah Hana ya, Kuh.”
“Baik. Tapi kamu kan nggak bawa baju ganti, Fleur.”
“Pinjem yang punyanya Hana kan bisa, Kuh. Hana sedang patah hati, baru diputusin pacarnya.”
“Oh.”
Bye, Kuh.”
Bye. Take care, dear.
Hana, teman instanku yang imigran China mainland berubah menjadi sosok pria bernama Tae Jhi Woon. Pria berdarah Korea yang belum pernah menginjak tanah Korea seumur hidupnya. Seumur 25 tahun. Ia mengajakku bercinta.
Dia pun melucuti bajuku. Aku memejamkan mata. Di pelupuk mataku, menari wajah dan mata yang sangat kutunggu. Menantikan saat ini seperti yang kuimpikan. Menyiapkan diriku demi sepotong pengalaman magis. Wajah itu kepunyaan “dia”.Tangan Jhi Woon menelusuri tubuhku seperti mobil malas-malasan menyusuri jalan. Meraba setiap mili kulit. Saat akhirnya dia menguasai diriku - aku merasa kesemutan. Tangan dan kakiku dingin.
But that’s all. Aku tidak merasakan apa-apa lagi selain itu. Semuanya hambar seperti makan tiramisu tanpa susu.

Aku lulus kuliah S1 pada usia 23 ½ tahun. Dan bekerja sebagai finance staff di sebuah perusahaan sepatu selama setahun. Setelah itu memutuskan untuk berlibur selama ½ tahun bersama kukuh-ku yang perawan tua di Monterey, CA. Lalu secara spontan bekerja paruh-waktu illegal di warung fast-food kumuh. Di sana aku mengenal Tae Jhi Woon dan kehilangan kesucianku dalam hitungan menit. Kami seperti kerasukan setan. Hidup di dunia berbeda definisi. Seolah aku adalah dewi seks yang eksis hanya untuk satu tujuan. Bercinta puluhan kali tanpa mengenal waktu maupun rasa bersalah. Hanya saja dengan pria yang sama. Setidaknya sampai detik ini.

Aku menonton Sweet November yang dibintangi Keanu Reeves dan Charlize Theron belasan kali. Bukanlah sekedar kebetulan dua bintang Hollywood favoritku bermain bersama. Itu adalah takdir. Aku mengingat setiap detailnya. Akhir yang tidak memuaskan, seperti makan kue ulang tahun. Hanya separuh, tidak tuntas karena giung[1].
Aku ingin hidup seperti Sara. Bebas dan cuek (sans kanker, tentunya). Itu alasanku menginginkan dia bertahan dengan kanker yang menjajah tiap provinsi dalam tubuhnya.
Aku tidak suka cowok miskin. Itu alasan kenapa aku ingin Nelson tetap kaya walau kehilangan karirnya dan bukan pewaris jutawan. Baru saat itu aku terbangun dan menyadari betapa tidak nyatanya kehidupan di balik kaca berwarna. Uang selalu melekat dalam kenikmatan setiap jiwa, terkekang maupun yang bebas merdeka.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Sara akan mati, dikubur dalam keadaan kurus kering sisa hidangan lezat sel-sel ganas. Bagaimana dengan Nelson?

Aku berpisah dengan Jhi Woon saat merasakan muak. Muak seperti budak seks yang dikurung dan dipakai pada saat nafsu memuncak. Kami sudah mencoba semua posisi. Jhi Woon menunjukkan perangainya yang asli. Kasar dan lapar seks. Ia tidak segan-segan memukul dan mencekikku untuk mencapai klimaks. Dan seperti pesakitan - aku menikmati momen-momen itu.
Tubuhku memanggilnya dan melekat seperti magnet pajangan di pintu lemari es. Gatal-gatal ingin di sentuh. Aku memang wanita jalang. Dan itu membuatku menggigil karena perasaan tak puas yang menderaku. Sampai saat aku memutuskan untuk pulang ke Indonesia - aku bertekad tidak akan bercinta lagi.

Aku punya kekurangan. Aku tidak pernah jatuh Cinta. Cinta tidak pernah terdaftar dalam kamusku. Sekedar fling atau teman flirting tentu saja bejibun. Tapi bukan berlabel Cinta. Sampai pada suatu momen, detik membeku. Mata “dia” singgah ke ruang berdebu di hatiku. Dan sejak saat itu love was my middle name.
Namun setelah beberapa saat terpuruk dalam ketololan parah semenjak “dia” menolakku hanya setelah tiga bulan kencan virtual kami, aku memutuskan untuk hidup dalam penyangkalan diri sendiri. Sebenarnya, dari dulu aku adalah gadis yang punya persediaan rasa pe-de yang lumayan banyak. Mungkin karena cermin tak pernah berbohong. Aku adalah si cantik yang bandel. Tapi, kali ini beda. Egoku terpuruk. Hatiku terluka dan menolak untuk percaya bahwa wajah yang sedemikian cantik tidak mampu memenangkan Cinta. Cinta pertama yang datang terlambat.
Maka, aku membuat keputusan untuk hidup dalam dunia imaji. Memainkan peran as a Goddess.  Sejak itu, yang kulihat dalam cermin bukan sekedar mahkluk cantik namun sesosok sensasional. Aku juga korban mode. Kain yang membalut tubuh harusnya tidak masalah mengingat tubuh dan wajahku yang menakjubkan. Karena itu pula aku bukan pengandrung merk fanatik. Aku pernah belanja di CiMol[2]. Belanja pakaian yang tidak lagi virgin dan yang kupilih dengan cermat meningkatkan adrenalin dan memberiku euforia. Standar penampilanku adalah rok jins hipster menggantung sempurna di pinggulku yang tajam. Kemeja ketat putih menerawang dengan bra hitam. Jaket kulit hitam imitasi dengan kerah dan ujung tangan dari faux fur - keglamoran yang palsu. Bot hitam selutut murahan. Aku akan melenggang bak supermodel di cat walk dengan kacamata hitam menyembunyikan the real inside me. Aku akan menikmati tatapan X-ray para cowok mesum menjelajahi tubuhku, menembus pakaian. Dadaku membusung dan perutku rata. Tungkaiku panjang.  I have to prove that I am really a Goddess and even he has to admit it!  Dan semenjak saat pemungkiran diri itu pulalah, dunia seolah mengekoriku. Seolah aku matahari dan para cowok adalah planet-planet yang mengitariku. Aku adalah The It Girl.   Kecuali…baginya.
Aku ditawari menjadi model beberapa kali. Aku sebenarnya tidak ingin menolak namun mereka menawariku foto kalender telanjang. Aku lebih baik jadi bintang film porno profesional. Aku memang hidup di dunia lumpur.

The Story of Naia

Namanya seunik pribadinya. Ia adalah cewek modern fans fanatik fengshui & Oprah Winfrey show. 
Setelah melepas posisi finance staff di sebuah pabrik sepatu, cikal-bakal pertemuanku dengan “dia”,  dan mengantungi buku tabungan dengan sederet angka tidak memuaskan, aku pun memutuskan untuk bekerja di butik milik Naia. Tentu saja, usai ½ tahun berenang dalam kehidupan bejat.
Ia menaruh pajangan kodok berkaki tiga di bawah meja kasir. Akan merayu uang datang. Itu kata fengshui. Nyonya muda kaya kurang kerjaan. Dibekali butik supaya tidak merecoki tuan yang sibuk berbinis sampai dini hari. Dengan kemeja beraroma alkohol dan wanita. Ada bekas lipstik di ujung kerahnya. Tubuhnya panas dan loyo. Itu karena sudah puas berpesta dengan dua-tiga cewek yang mengerumuninya seperti semut merah menyantap permen yang ditinggalkan di meja - dengan bungkus terbuka.
Kami adalah teman sejiwa. She is my other half.  Sahabat dari SMA. Ia membiarkan aku bekerja di butiknya karena aku ingin siesta tanpa harus luntang lantung tanpa juntrungan. Ia akan mencurahkan seluruh isi hatinya padaku.
Dandanannya menor. Eyeliner ketebalan, perona pipi kemerahan dan lipstik pink manyala. Ia seperti manekin di etalase toko. Selalu gaya dan chic.
“Lo harus betulin gigi lo, Fleur.”
“Kenapa?”
“Gigi lo kan jarang-jarang. Lo nggak bakalan bisa kaya. Percaya deh, rejeki bakalan gampang mengalir keluar.”
Aku tertawa tapi wajahnya tetap serius.
“Serius, Say. Elo enggak boleh ngeremehin hal-hal semacam ini. Sepele kelihatannya tapi akan membawa perubahan besar. Trust me.

Naia pacaran dengan David enam tahun lamanya dan langsung menikah setelah lulus kuliah. Sejak hari pernikahannya, Naia terbangun dalam kenyataan bahwa dia sudah tidak mencintai mempelai prianya.  But it’s way too late. Ia memaksa senyum palsu di balik riasan sepucat boneka lilin dan memberikan the wedding kiss dengan bibir terkunci rapat.
Pada malam pertama ia terbaring kaku seperti mayat, seperti ikan beku. Dingin bagai boneka rusak belaka. Kenyataannya ia jatuh cinta pada sahabat suaminya. Pria sederhana yang membantu mengangkat slayer-nya. Handycam menangkap kesedihan di sinar matanya yang redup. Hanya orang berdarah dingin yang tidak bisa menyadarinya. Sayangnya semua orang berdarah dingin, haus perhatian dan cinta diri sendiri.
Naia dengan terisak-isak menceritakan kefrustasiannya.“Setiap malam gue seperti diperkosa, Fleur. David hanya tahan dua menit saja. Bayangin, dua menit. Apa itu orgasme? Gue enggak kenal. Siapa dia? Orang mana? Bisa lo kenalin gue, Fleur?” tanyanya pilu.
“Jon mengirimiku SMS, begini bunyinya. Kala senja merangkak memasuki kejamnya malam. Kala malam makin membutakan pandanganku. Di hadapanku hanya ada kamu. Putih bercahaya bagaikan bulan di hatiku yang temaram. Kapan kita bersatu? Walau sebenarnya jiwa kita tidak pernah sedetik pun terpisah, wo hen ai ni
Aku terpana.

Aku memergoki cicak bersetubuh pagi ini. Yang jantan kehitaman seperti orang Afrika. Yang betina keputihan seperti penderita albino. Mereka menyusuri dinding, rekat bagaikan satu ekor cicak berbuntut ganda. Sang betina terus merayap, seolah ingin menghentakkan si jantan sampai jatuh. Aku memalingkan wajah. Bagaimana dengan Naia? Terbayang di depan mataku badannya yang remuk ditindihi tubuh kekar David. Dua menit bagaikan berjam-jam. Jarum di jam dinding bergerak bagaikan di slow motion-kan.

“Gue kepingin mati, Fleur,” bisik Naia pada suatu sore.
Aku mengangguk, berlagak mengerti apa maksudnya.
“Jadi lo setuju kalau mati itu jalan keluarnya?” tanyanya heran.
Aku menyita menit demi menit untuk menelurkan kata-kata yang tepat. “Gue kan nggak bilang begitu. Dunia memang brengsek dan sialan. Tapi kita masih muda. What the hell with life, it sucks. Dan gue nggak mau kalah. Banyak hal yang belum gue cicipi…”
“Maksud lo, “dia”?”
Aku mengangkat sebelah alis. “Melebihi “dia”, Nai. Lo sadar? Gue belum pernah mencintai dan dicintai. Selalu one way love.
“Mungkin karena hati lo keburu ketutup ilusi dan obsesi.”
“Gue cuma kepingin tahu, kenapa dia nolak gue. Bayangin, Nai, satu-satunya cowok yang memperkenalkan gue sama Cinta nolak gue!”
“Lo kan tau kekurangan lo di mata dia, Say.”
Which part?”
Naia mengangkat bahu.“Do you really need to ask? Money, Honey! And please, get over him already, Dear! Like the old saying, there are plenty of fishes in the sea. He’s just not worth for you. You are a Goddess, you deserve much better person than him.”
Aku terdiam. Kehabisan kata-kata.
Out of the blue, “diacalled quit dari kencan virtual kami dab lari terbirit-birit seperti dikejar anjing gila begitu kami punya kesempatan berduaan.
            Still…apa emang duit bisa ngalahin Cinta, Nai? Demi Tuhan, cewek itu jelek, Nai. Jelek dengan kapital J! Dia sama sekali bukan tandingan gue. In fact, every men love me…
“Lo memang sombong, Fleur.” Naia terkekeh, menggeleng takjub.
Aku tertunduk lunglai. Tidak ada gunanya semua cowok memujaku. Every men love me, why didn’t he? Do Money and Power above D Love? Or it wasn’t Love at all for him? Maybe only my beauty that captured his heart and that beauty had lost the battle against money. Itu pertanyaan yang tak pernah kutemukan jawabannya.
Dan aku tidak tahu sampai kapan kubisa bertahan hidup tanpa cinta.



[1] terlalu manis (sunda)
[2] CiMol, pedagang  pakaian second kaki lima di kota Bandung

No comments:

Post a Comment